5 Kota Atau Tempat Yang Mendapat Murka Allah, Semua Hancur Dalam Sekejap!

Ini dia 5 kota atau tempat yang mendapat murka Allah. Di balik gemerlap peradaban manusia, tersembunyi cerita-cerita kelam tentang kota-kota yang dulunya megah namun kini hanya menyisakan reruntuhan. Lima nama ini tercatat dalam sejarah bukan karena kejayaannya, melainkan karena kehancuran tragis yang menghantam mereka.

Konon, kota atau daerah ini terkena kutukan dari Sang Pencipta, menjadi pengingat abadi akan batas antara kehendak manusia dan murka Ilahi. Dari puing-puing dan debu, kisah mereka berbisik, memperingatkan generasi mendatang tentang konsekuensi dari pembangkangan dan dosa.

Mari kita telusuri jejak lima kota atau daerah terkutuk ini, yang takdirnya telah ditentukan oleh tangan Tuhan. Yang menghebohkan, dari kelima kota atau daerah ini, ternyata ada satu berada di Indonesia.

Inilah 5 Kota Atau Tempat Yang Mendapat Murka Allah

Kota Atau Tempat Yang Mendapat Murka Allah
Kota Atau Tempat Yang Mendapat Murka Allah

1. Kota Pompei, Kekaisaran Romawi

Pompei adalah sebuah kota kuno yang terletak di wilayah Kampania, Italia, dengan sejarah panjang yang dimulai jauh sebelum kehancurannya secara tragis pada tahun 79 Masehi. Kota ini didirikan pada abad ke-7 Sebelum Masehi oleh suku Oska dan awalnya merupakan sebuah permukiman kecil. Seiring waktu, Pompei berkembang menjadi kota pelabuhan yang penting di wilayah Napoli.

Pada masa kejayaannya, Pompei tumbuh menjadi kota besar yang makmur. Lokasinya yang strategis di kaki Gunung Vesuvius, satu-satunya gunung berapi aktif di Eropa, memberikan keuntungan tersendiri. Tanah di sekitar Pompei sangat subur, menjadikannya ideal untuk pertanian. Para petani di kawasan ini banyak membudidayakan anggur dan zaitun, yang menjadi salah satu pilar utama kemakmuran dan pertumbuhan Pompei selama berabad-abad.

Meskipun Gunung Vesuvius telah lama menjadi bagian dari lanskap Kota Pompei, penduduknya tampaknya tidak menyadari potensi bahaya yang akan datang. Gunung Vesuvius telah tidak aktif selama berabad-abad, dan ilmu vulkanologi pada masa itu masih sangat terbatas sehingga tidak mampu memprediksi ancaman yang mengintai.
Pompei merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi kuno.

Sebagian besar penduduknya adalah keturunan Romawi, dan seperti di wilayah lain dalam kekaisaran, praktik prostitusi dilegalkan. Namun, Pompei menawarkan sesuatu yang lebih unik dan berbeda dibandingkan kota-kota lainnya dalam hal ini.

Diperkirakan terdapat sekitar 35 rumah bordil yang tersebar di seluruh Kota Pompei. Jumlah ini terbilang banyak, mengingat luas wilayah Pompei hanya sekitar 12 km bujur sangkar dengan populasi sekitar 15.000 orang. Untuk memudahkan akses ke rumah bordil, jalanan di Pompei dilengkapi petunjuk arah berupa pahatan berbentuk phallus, simbol alat kelamin laki-laki. Simbol ini digunakan untuk membantu para pendatang, terutama yang mabuk berat atau tidak memahami bahasa lokal, menemukan lokasi yang mereka cari.

Praktik prostitusi di Pompei umumnya dilakukan oleh para budak, dengan tarif yang sangat murah. Bahkan, biaya layanan prostitusi di Pompei jauh lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Kekaisaran Romawi. Dengan membayar setara harga seperempat gelas anggur, seorang pria sudah bisa memesan layanan dari seorang pelacur. Pada salah satu dinding aula di kota ini, ditemukan sebuah tulisan yang berbunyi, “Jika Anda mencari pelukan manis di kota ini, semua gadis di sini tersedia.”

Hubungan seksual yang dianggap wajar di Pompei tidak hanya terbatas antara laki-laki dan perempuan. Penemuan grafiti menunjukkan bahwa praktik homoseksual dan pelecehan terhadap anak juga merupakan hal yang umum terjadi di kota ini. Temuan-temuan ini membuat Pompei sering dijuluki sebagai “Kota Maksiat,” meskipun kota tersebut juga terkenal karena arsitekturnya yang megah dan keberagaman karya seninya.

Namun, ketika praktik-praktik tidak bermoral ini semakin marak dan menjadi pemandangan biasa, bencana besar akhirnya melanda. Pada tanggal 24 Agustus 79 Masehi, sekitar tengah hari, Gunung Vesuvius meletus dengan dahsyat. Letusan ini memuntahkan kolom erupsi besar setinggi 33 km yang disertai abu vulkanik dan batu apung yang menghujani Pompei dan sekitarnya. Tebalnya material erupsi menyebabkan kegelapan di siang hari, sementara debu dan gas beracun membuat penduduk kesulitan bernapas. Banyak warga yang tidak mampu melarikan diri, sehingga menjadi korban bencana tersebut.

Pada malam hari, letusan Gunung Vesuvius mencapai puncaknya. Awan panas mematikan meluncur dengan kecepatan tinggi, menyapu bersih Kota Pompei dan membunuh siapa saja yang berada di sana. Meskipun sulit untuk memastikan jumlah korban secara pasti, diperkirakan sekitar 2.000 orang tewas di kota tersebut.

Sebagian penduduk berhasil melarikan diri pada tahap awal letusan, tetapi mereka yang tetap tinggal atau terlambat menyelamatkan diri menghadapi akhir yang tragis. Kota yang dikenal sebagai “kota maksiat” ini hancur lebur bersama para penduduknya, lalu terkubur di bawah lapisan abu dan batuan vulkanik. Pompei pun terlupakan selama lebih dari 1.700 tahun sebelum akhirnya ditemukan kembali.

2. Ashabul Ross

Ashabul Ross adalah suatu kaum yang hidup pada masa lampau, yang kisahnya disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai salah satu kaum yang menerima azab dari Allah SWT. Secara harfiah, nama Ashabul Rass berarti “penghuni sumur” atau “pemilik sumur.” Kaum ini diyakini menetap di sebuah wilayah yang kini diperkirakan terletak di antara Yamamah dan Hadramaut di Jazirah Arab.

Kehidupan Ashabul Rass sangat bergantung pada sebuah sumur besar yang menjadi sumber utama air bagi mereka. Sumur tersebut tidak hanya berfungsi sebagai pusat kehidupan, tetapi juga menjadi lambang kemakmuran dan identitas kaum ini. Di sekitar sumur itu, mereka membangun peradaban yang cukup maju, dengan pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian utama.

Meskipun telah dianugerahi nikmat berupa sumber air yang melimpah, Ashabul Rass justru menyalahgunakan karunia tersebut. Mereka mengembangkan sistem kepercayaan yang menyimpang dengan menyembah sebuah pohon cemara besar yang tumbuh di dekat sumur utama mereka.

Pohon ini dianggap suci dan dijadikan objek penyembahan, menggantikan Allah SWT sebagai Tuhan yang seharusnya mereka sembah. Kemusyrikan kaum Ashabul Rass tidak berhenti pada penyembahan pohon semata. Mereka juga mengembangkan praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran tauhid, seperti membuat patung-patung yang melambangkan dewa-dewa yang mereka sembah.

Mereka kemudian melakukan ritual dan persembahan kepada pohon cemara serta menolak ajaran-ajaran monoteisme yang disampaikan oleh para nabi dan rasul. Namun, dalam rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah SWT tidak langsung menghukum kaum Ashabul Rass. Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla mengutus seorang nabi untuk membimbing mereka dan mengingatkan mereka akan jalan yang benar. Menurut beberapa riwayat, nabi yang diutus tersebut adalah Nabi Syuaib, meskipun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa nabi tersebut adalah sosok lain yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.

Nabi yang diutus kepada Ashabul Rass dengan gigih berusaha mengajak mereka kembali ke jalan yang lurus. Beliau menyampaikan ajaran tauhid, menyeru mereka untuk hanya menyembah Allah SWT, serta meninggalkan penyembahan terhadap pohon dan berhala. Nabi tersebut juga mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah SWT yang telah dianugerahkan, termasuk sumur yang menjadi sumber kehidupan utama mereka.

Namun, seperti banyak kaum lain yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Ashabul Rass menolak ajakan nabi mereka. Mereka tetap keras kepala dalam kekufuran dan kemusyrikan, bahkan mulai mengancam serta memusuhi nabi yang diutus kepada mereka. Penolakan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, menunjukkan betapa besar kesabaran Allah SWT dalam memberikan kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertaubat.

Namun, setelah bertahun-tahun menolak ajakan nabi mereka dan terus teguh dalam kekufuran, akhirnya azab Allah SWT menimpa kaum Ashabul Rass. Azab ini turun sebagai konsekuensi dari penolakan mereka yang terus-menerus terhadap ajaran tauhid serta keteguhan mereka dalam menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menurut beberapa riwayat, azab yang menimpa kaum Ashabul Rass terjadi secara bertahap. Tahap pertama dimulai dengan kekeringan dan paceklik. Allah Subhanahu wa Ta’ala mulai menahan curahan rahmat-Nya dengan menghentikan turunnya hujan. Kekeringan berkepanjangan melanda wilayah mereka, menyebabkan tanaman-tanaman mereka mati dan ternak-ternak mereka kelaparan hingga akhirnya mati.

Ini merupakan peringatan awal bagi Ashabul Rass, tetapi mereka tetap tidak mengindahkannya. Kemudian datang azab berikutnya, berupa pencemaran sumur yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Air di sumur tersebut tiba-tiba tercemar, berubah warna, berbau busuk, dan tidak lagi layak dikonsumsi. Hal ini menyebabkan krisis air yang parah di kalangan kaum Ashabul Rass.

Setelah itu, sebuah gempa bumi dahsyat mengguncang wilayah tempat tinggal mereka. Gempa ini menghancurkan bangunan-bangunan dan infrastruktur yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Puncak dari azab ini adalah runtuhnya tanah di sekitar sumur mereka. Tanah yang selama ini menjadi kebanggaan mereka ambruk, menelan seluruh kaum Ashabul Rass beserta harta benda dan berhala-berhala yang mereka sembah.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa mereka terperosok ke dalam sumur yang selama ini menjadi simbol kemakmuran mereka. Kisah Ashabul Rass disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai peringatan bagi umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Furqan ayat 38-39:

“Dan (juga) kaum ‘Ad dan Tsamud serta penduduk Rass dan banyak generasi di antara kaum-kaum tersebut. Dan Kami jadikan bagi masing-masing mereka perumpamaan; dan masing-masing mereka benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-hancurnya.”

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa keangkuhan dan penolakan terhadap kebenaran hanya akan membawa kehancuran.

3. Kota Sodom

Kota Sodom adalah salah satu kota yang namanya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai peringatan bagi umat manusia. Kota ini terletak di wilayah yang kini dikenal sebagai Lembah Sidim, di sekitar Laut Mati. Sodom menjadi simbol kehancuran akibat perbuatan maksiat dan penentangan terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kisah tentang kota ini dan nasib penduduknya memberikan pelajaran penting dalam ajaran Islam mengenai konsekuensi dari kekufuran dan perilaku yang melanggar fitrah manusia. Menurut para sejarawan dan ahli tafsir, Kota Sodom diperkirakan berada di wilayah yang saat ini termasuk dalam kawasan Yordania dan Palestina, tepatnya di sekitar Laut Mati. Pada masa lalu, wilayah ini dikenal dengan kesuburannya dan sumber daya alam yang melimpah, menjadikannya pusat kehidupan yang makmur sebelum akhirnya dihancurkan sebagai akibat dari dosa-dosa penduduknya.

Al-Qur’an menggambarkan wilayah Sodom sebagai tempat yang dipenuhi kebun-kebun dan mata air, seperti disebutkan dalam Surah Ad-Dukhan ayat 25-26:
“Betapa banyak taman-taman dan mata air yang mereka tinggalkan, kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah.”

Kesuburan tanah dan kelimpahan air menjadikan Sodom kota yang makmur secara ekonomi. Perdagangan berkembang pesat, dan kota ini menjadi salah satu pusat peradaban di kawasan tersebut. Namun, di balik kemakmuran itu tersembunyi kerusakan moral yang sangat parah di kalangan penduduknya. Masyarakat Sodom dikenal karena perilaku mereka yang sangat menyimpang dari norma-norma kemanusiaan dan ajaran agama, sehingga mengundang murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Beberapa karakteristik utama dari Masyarakat Sodom yang disebutkan dalam Al Quran dan hadis antara lain: Yang pertama praktik hombroseksual menjadi ciri khas yang paling menonjol dari penduduk Sodom. Al-Quran menyebutkan bahwa mereka adalah kaum pertama yang melakukan perbuatan ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al A’raf ayat ke-80 sampai 81. Perbuatan ini dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap fitrah manusia dan hukum Allah subhanahu wa taala.

Yang kedua adanya perampokan dan kejahatan selain penyimpangan seksuil. Masyarakat Sodom juga terkenal dengan tindakan kriminal mereka. Mereka sering melakukan perampokan terhadap musafir yang melewati kota mereka. Bahkan, tindakan ini seolah-olah telah menjadi budaya yang diterima secara luas di kalangan penduduk Sodom.

Kemudian Allah subhanahu wa taala mengutus Nabi Luth alaihissalam kepada kaum ini untuk meluruskan Fitrah mereka sebagai manusia serta mengenal apa yang disukai dan tidak disukai Allah subhahu wa taala. Sayangnya mayoritas penduduk Sodom menolak dakwah Nabi Luth alaihissalam. Penolakan dan ejekan Masyarakat Sodom menolak ajaran yang dibawa Nabi Luth alaihissalamam dan bahkan mengejek beliau. Mereka menganggap ajaran Nabi Luth alaihissalam sebagai yang aneh dan bertentangan dengan tradisi mereka.

Menjelang turunnya azab kepada kaum Sodom, beberapa peristiwa penting terjadi sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para malaikat dalam wujud pemuda-pemuda tampan untuk menguji kaum Sodom sekaligus membawa kehancuran atas mereka. Para malaikat ini datang sebagai tamu ke rumah Nabi Luth ‘alaihissalam.

Nabi Luth ‘alaihissalam merasa sangat cemas karena mengetahui perilaku buruk kaumnya. Beliau khawatir tidak mampu melindungi para tamunya dari niat jahat kaum Sodom. Berita tentang kedatangan tamu-tamu tampan di rumah Nabi Luth ‘alaihissalam segera menyebar, dan kaum Sodom berbondong-bondong mendatangi rumah beliau dengan niat untuk melakukan perbuatan keji terhadap para tamu tersebut.

Dalam upaya melindungi tamunya, Nabi Luth ‘alaihissalam bahkan menawarkan kedua putrinya untuk dinikahi oleh kaum lelaki Sodom secara sah. Namun, tawaran ini ditolak oleh mereka, menunjukkan betapa rusaknya moral kaum tersebut dan menegaskan penolakan mereka terhadap ajaran yang lurus.

Hal ini menggambarkan betapa parahnya penyimpangan moral yang telah mengakar dalam masyarakat Sodom. Para malaikat, yang menyaksikan kecemasan Nabi Luth ‘alaihissalam serta keras kepala kaumnya, akhirnya mengungkapkan jati diri mereka. Mereka memberitahu Nabi Luth ‘alaihissalam bahwa mereka adalah utusan Allah yang datang untuk menyelamatkan beliau dan keluarganya yang beriman, serta untuk membinasakan kaum yang durhaka.

Setelah berbagai peringatan dan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Luth ‘alaihissalam tidak dihiraukan oleh penduduk Sodom, Allah Subhanahu wa Ta’ala akhirnya menurunkan azab-Nya. Proses turunnya azab ini dijelaskan dalam Al-Qur’an dengan sangat detail dan mengerikan, menunjukkan betapa dahsyatnya hukuman Allah bagi kaum yang ingkar dan berbuat kerusakan di muka bumi.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa azab tersebut turun pada waktu subuh, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Hijr ayat 73:
“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur ketika matahari akan terbit.”

Bentuk azab yang ditimpakan kepada kaum Sodom dijelaskan dalam Al-Qur’an dengan berbagai cara.

  • Satu. Hujan Batu. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hujan batu dari langit yang menghancurkan kota Sodom. Peristiwa ini disebutkan dalam Surah Al-Hijr ayat 74.
  • Dua. Gempa Dahsyat. Kota Sodom juga diguncang oleh gempa bumi yang dahsyat, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-A’raf ayat 78.
  • Tiga. Suara Mengguntur. Azab tersebut juga disertai suara keras yang mengguntur, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Hijr ayat 73.

Sebelum azab diturunkan, Nabi Luth ‘alaihissalam dan para pengikutnya yang beriman diperintahkan untuk meninggalkan kota. Mereka diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai bentuk rahmat bagi orang-orang yang beriman. Namun, istri Nabi Luth ‘alaihissalam yang tidak beriman ikut dibinasakan bersama penduduk Sodom lainnya.

Salah satu aspek paling mengerikan dari azab tersebut adalah pembalikan kota Sodom. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membalikkan kota itu, menjadikan bagian atasnya berada di bawah, dan bagian bawahnya di atas. Kehancuran total ini menjadi peringatan bagi umat manusia tentang akibat dari kekufuran dan pelanggaran terhadap hukum Allah.

4. Desa Legetang

Daerah dan Tempat Yang Mendapat Murka Allah
Daerah dan Tempat Yang Mendapat Murka Allah

Pada suatu hari di Desa Legetang, warga dikejutkan oleh kemunculan sejumlah besar binatang liar yang berkeliaran di sekitar jalan desa. Tidak ada yang tahu dari mana asal binatang-binatang tersebut. Di antara hewan-hewan yang terlihat, ada monyet, kera, babi hutan, dan berbagai jenis binatang lainnya yang sebenarnya bukan berasal dari wilayah sekitar Desa Legetang.

Warga pun berusaha mencari tahu asal-usul hewan-hewan tersebut. Setelah ditelusuri, diketahui bahwa binatang-binatang itu berasal dari puncak Gunung Pengamun-Amun, yang letaknya cukup jauh dari Desa Legetang. Menyadari kejanggalan ini, warga segera mengadakan musyawarah untuk membahas fenomena tersebut. Dalam diskusi tersebut, mereka menyimpulkan bahwa turunnya hewan-hewan dari gunung mungkin menjadi pertanda akan terjadinya bencana besar. Mereka percaya bahwa hewan-hewan sering kali memiliki insting untuk memprediksi bencana di masa depan.

Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana, warga Desa Legetang memutuskan untuk bergotong royong membuat parit di lembah Gunung Pengamun-Amun. Parit tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak bencana, khususnya jika terjadi longsor. Perjalanan menuju lembah gunung tidaklah mudah karena jaraknya cukup jauh dari desa, dipisahkan oleh area perkebunan milik warga. Meski begitu, semangat kebersamaan membuat para warga bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Desa Legetang sendiri terletak di dataran tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Dengan upaya antisipasi ini, warga berharap dapat meminimalkan risiko bencana yang mungkin terjadi, sekaligus menjaga keselamatan dan keberlangsungan hidup mereka.

Desa ini memiliki potensi tanah yang jauh lebih subur dibandingkan dengan desa-desa di sekitarnya. Sebagai contoh, jika semangka yang ditanam di desa lain beratnya hanya mencapai sekitar 6 kg, di Desa Legetang semangka yang sama bisa tumbuh hingga 10–12 kg.

Setelah parit selesai dibuat, aktivitas warga Desa Legetang kembali berjalan seperti biasa. Perlu diketahui, kehidupan di desa ini dikenal makmur. Hanya segelintir saja yang tergolong miskin, sementara sebagian besar warganya adalah saudagar kaya.

Namun, kemakmuran ini sering kali disalahgunakan. Banyak warga yang menghamburkan uang mereka untuk hiburan. Setiap malam, perjudian menjadi aktivitas umum di desa ini. Selain itu, sering diadakan pertunjukan seni Lengger, yang kerap berujung pada tindakan asusila. Aktivitas-aktivitas ini hanya terjadi di desa tersebut, sehingga setiap malamnya dikatakan penuh dengan perbuatan maksiat.

Perilaku maksiat di Desa Legetang meliputi perjudian, mabuk-mabukan, hingga seks bebas. Kebiasaan ini telah menjadi begitu rutin sehingga warga yang tidak terlibat terkesan membiarkannya, seolah-olah itu adalah hal yang lumrah. Bahkan, menurut beberapa sumber, tingkat kemaksiatan di desa ini telah melampaui batas. Salah satu kisah tragis menyebutkan adanya perbuatan terlarang antara seorang anak dan ibu kandungnya. Setiap malam, desa ini dipenuhi dengan suara gamelan, obrolan keras, dan tawa terbahak-bahak yang menggema tanpa henti.

Namun, pada malam tanggal 17 April 1955, suasana berubah drastis. Hujan deras mengguyur tanpa henti, disertai kilat dan petir yang menyambar-nyambar, menciptakan suasana mencekam. Suara guntur yang menggelegar memecah langit gelap, membuat orang-orang enggan keluar rumah. Tiba-tiba, terdengar ledakan dahsyat yang suaranya menggema hingga desa-desa sekitar Legetang. Namun, rasa takut membuat warga desa-desa sekitar memilih bertahan di rumah, tidak berani mencari tahu apa yang terjadi di balik ledakan tersebut. Mereka menunggu hingga pagi tiba untuk mengetahui jawabannya.

Pagi hari setelah badai malam yang mencekam itu reda, warga dari desa-desa tetangga Legetang kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Beberapa di antaranya pergi mencari rumput hingga mendekati area Desa Legetang. Namun, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang tak terduga—Desa Legetang telah rata dengan tanah, terkubur oleh longsoran besar dari puncak Gunung Pengamun-amun.

Dalam peristiwa tragis ini, sekitar 332 penduduk asli desa dan 19 orang dari desa lain dinyatakan meninggal dunia. Hanya dua orang yang berhasil selamat dari bencana tersebut. Yang membuat kejadian ini semakin tak masuk akal adalah lokasi Desa Legetang yang cukup jauh dari Gunung Pengamun-amun, terpisahkan oleh lembah dan perkebunan warga. Secara logis, longsoran dari gunung tersebut seharusnya berhenti di lembah atau, paling jauh, hanya merusak perkebunan.

Selain itu, 70 hari sebelum musibah ini, warga desa sudah melakukan langkah antisipasi dengan menggali parit dalam di lembah gunung untuk mencegah dampak longsor. Namun, semua persiapan itu sia-sia. Longsoran puncak gunung seolah seperti “terbelah”, terangkat, dan kemudian dijatuhkan dengan kekuatan besar tepat di atas Desa Legetang.

Peristiwa ini memunculkan berbagai penafsiran. Sebagian orang meyakini bahwa musibah ini adalah azab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai kemaksiatan yang terjadi di desa tersebut, mengingat kejadiannya sulit dijelaskan dengan logika manusia. Di sisi lain, ada yang mencoba menjelaskan bencana ini sebagai fenomena alam, namun penjelasan tersebut dianggap kurang masuk akal, seolah-olah hanya sekadar cocokologi tanpa dasar yang kuat.

Warga desa di sekitar Legetang, yang memahami medan dan jarak antara puncak Gunung Pengamun-amun dan Desa Legetang, dibuat bingung oleh kejadian ini. Bagaimana mungkin longsoran dari gunung yang terpisah oleh lembah dan perkebunan bisa menimpa desa tersebut jika bukan karena azab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menimpa kaum itu? Pada akhirnya, tidak ada yang tersisa dari desa tersebut kecuali kehancuran yang Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan sebagai bentuk pembinasaan.

5. Kota Mada’in Saleh

Mada’in Saleh, juga dikenal sebagai Al-Hijr, adalah salah satu kota kuno yang penuh misteri dan sejarah di kawasan Arab. Terletak di barat laut Arab Saudi, situs arkeologi ini menjadi saksi bisu kejayaan kaum Tsamud, sebuah bangsa kuno yang pernah menghuni wilayah tersebut. Dalam perspektif Islam, Mada’in Saleh memiliki makna mendalam karena terkait dengan kisah kehancuran kaum Tsamud akibat pembangkangan mereka terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mada’in Saleh adalah salah satu kota penting yang dibangun oleh kaum Tsamud, sebuah bangsa Arab kuno yang tercatat dalam sejarah Islam. Kaum Tsamud merupakan keturunan kaum ‘Ad, yang juga dihancurkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kedurhakaan mereka. Keahlian kaum Tsamud dalam memahat gunung batu menjadi rumah dan istana megah menjadikan arsitektur mereka sangat mengagumkan. Keindahan karya mereka masih dapat disaksikan hingga hari ini di wilayah Mada’in Saleh.

Dalam Al-Qur’an, kaum Tsamud disebut sebagai umat yang diberi banyak nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, mereka tidak bersyukur dan malah berpaling dari jalan yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Saleh ‘alaihissalam kepada mereka untuk mengajak kembali ke jalan yang lurus dan meninggalkan segala bentuk kemaksiatan yang mereka lakukan. Kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya ketaatan kepada Allah dan konsekuensi dari kedurhakaan.

Nabi Saleh ‘alaihissalam dikenal sebagai seorang nabi yang penuh kesabaran dan kebijaksanaan. Beliau diutus untuk menyampaikan pesan tauhid kepada kaum Tsamud, serta memperingatkan mereka akan azab yang akan menimpa jika mereka terus-menerus berada dalam kesesatan. Kehancuran kaum Tsamud disebabkan oleh perilaku maksiat mereka dan penyimpangan dari ajaran Allah Azza wa Jalla.

Kaum Tsamud adalah bangsa yang dianugerahi banyak kenikmatan duniawi, namun mereka gagal mensyukuri nikmat tersebut kepada Allah. Sebaliknya, mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kemaksiatan, seperti menyembah berhala, menindas orang-orang lemah, dan menjalani kehidupan yang berlebihan dalam kemewahan dan kesenangan duniawi. Kaum Tsamud membuat dan menyembah berhala-berhala yang mereka yakini memiliki kekuatan untuk melindungi dan memberikan keberkahan. Mereka lupa bahwa semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hanya kepada-Nya mereka seharusnya menyembah dan memohon perlindungan.

Selain itu, kaum Tsamud juga dikenal karena kesombongan mereka. Mereka merasa unggul karena kekayaan dan kemampuan mereka dalam memahat gunung-gunung batu menjadi kota-kota megah. Kesombongan ini membuat mereka menolak ajaran yang dibawa oleh Nabi Saleh ‘alaihissalam. Mereka bahkan mengejek dan menentang peringatan yang diberikan oleh Nabi Saleh.

Sebagai bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum Tsamud, Allah memberikan mukjizat melalui Nabi Saleh berupa seekor unta betina yang keluar dari sebuah batu besar. Unta tersebut adalah tanda kebenaran ajaran Nabi Saleh dan memiliki keistimewaan luar biasa, termasuk menghasilkan air susu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh kaum Tsamud. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum Tsamud untuk tidak mengganggu unta tersebut dan membiarkannya hidup bebas di antara mereka sebagai ujian atas ketaatan mereka.

Namun, meskipun telah diberikan tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, kaum Tsamud tetap tidak percaya dan semakin menentang. Keberadaan unta mukjizat yang diberikan kepada Nabi Saleh ‘alaihissalam justru dianggap sebagai ancaman bagi mereka. Nabi Saleh meminta agar mereka membagi penggunaan air dari sumur, satu hari untuk unta dan satu hari untuk mereka. Namun, keserakahan dan kebencian terhadap kebenaran membuat kaum Tsamud merencanakan untuk membunuh unta tersebut.

Akhirnya, beberapa orang dari kaum Tsamud yang paling durhaka melaksanakan rencana itu dan membunuh unta mukjizat tersebut. Tindakan ini menjadi puncak pembangkangan mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, menandakan bahwa mereka telah melampaui batas dalam kedurhakaan. Nabi Saleh sangat berduka atas perbuatan mereka dan memberikan peringatan terakhir: azab Allah Subhanahu wa Ta’ala akan datang dalam waktu tiga hari jika mereka tidak bertaubat.

Seperti yang telah diperingatkan oleh Nabi Saleh ‘alaihissalam, azab Allah pun datang setelah tiga hari. Allah mengirimkan gempa bumi dahsyat yang menghancurkan seluruh kota Mada’in Saleh. Gempa tersebut diiringi suara yang sangat keras, menyebabkan kematian seketika bagi seluruh penduduk yang durhaka. Dalam sekejap, kota yang megah tersebut berubah menjadi reruntuhan, meninggalkan pelajaran bagi umat manusia yang datang kemudian.

Al-Qur’an dengan jelas mengingatkan tentang nasib kaum Tsamud dalam beberapa ayat, salah satunya Surah Al-A’raf ayat 78, yang artinya:
“Maka mereka dibinasakan oleh gempa yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.”

Ayat ini menggambarkan betapa dahsyatnya azab yang ditimpakan kepada kaum Tsamud sebagai akibat kedurhakaan mereka. Tidak ada satu pun yang selamat kecuali orang-orang yang beriman dan mengikuti ajaran Nabi Saleh ‘alaihissalam.

Nah, itu tadi artikel tentang kota atau tempat yang mendapat murka Allah. Semoga artikel ini bermanfaat untuk para pembaca sekalian.

Sumber : Berita Islami Channel

About administrator

Kami Menyediakan Informasi Berdasarkan Sumber Yang Kredibel dan Terpecaya

Tinggalkan Balasan