Kisah Dajjal Sang Pendusta! Dari Nabi Musa, Isa, Muhammad, Hingga Masa Kini!
Kisah Dajjal Sang Pendusta! Dari Nabi Musa, Isa, Muhammad, Hingga Masa Kini!

Kisah Dajjal Sang Pendusta ! Dari Nabi Musa, Isa, Muhammad, Hingga Masa Kini!

Bagaimana sebenarnya kisah dajjal sang pendusta itu? Mari kita simak ceritanya mulai dari kelahiran, masa remaja, zaman Nabi Musa, Isa, hingga Nabi Muhammad dan masa modern saat ini. Atau Anda bisa menonton video dari channel Berita Islami berikut ini.

Kisah Lengkap Dajjal Sang Pendusta

Menurut Dr. Isa Daud dalam bukunya yang mengguncang dunia pada tahun 2000, “Kemunculan Dajjal di Segi Tiga Bermuda”, terungkap sebuah kisah yang mengejutkan. Dajjal, makhluk yang akan menjadi simbol kejahatan terbesar, diyakini lahir 100 tahun sebelum kelahiran Nabi Musa alaihissalam. Nama yang diberikan kepadanya adalah Musa—sebuah nama yang berasal dari bahasa Mesir kuno, yang berarti “terapung.”

Namun, kisah kelahirannya begitu penuh tragedi. Dalam sebuah bencana dahsyat berupa tsunami yang melanda negeri Samirah, Palestina, bayi itu ditemukan terapung di atas air, seolah takdirnya sudah ditentukan sejak awal. Ia bukan sekadar Musa, tetapi Musa Samiri, yang berarti “Musa dari negeri Samirah.”

Dua sosok Musa ini kemudian menciptakan sejarah yang begitu berbeda di tengah Bani Israil. Yang pertama adalah Musa bin Imron, seorang nabi agung yang diutus oleh Allah untuk membawa petunjuk. Yang kedua, Musa Samiri, adalah cikal bakal Dajjal, makhluk yang kelak menjadi utusan Iblis laknatullah, membawa kehancuran dan menyesatkan manusia hingga akhir zaman.

Kisah ini bukan sekadar tentang nama, tetapi tentang dua takdir yang bertolak belakang: satu membawa cahaya, yang lain tenggelam dalam kegelapan abadi.

Kelahiran Dajjal

Dajjal lahir dari keluarga penyembah berhala, yang memuja patung anak sapi, dikenal dalam Al-Qur’an sebagai Ijlu. Sebuah keluarga yang sudah tenggelam dalam kegelapan, mempersembahkan generasi yang kelak menjadi simbol kehancuran dunia. Namun, kelahiran Dajjal bukanlah kelahiran biasa—ia adalah hasil dari perkawinan sedarah, sebuah dosa besar yang membawa kutukan pada anak yang dilahirkan.

Sejak detik pertama napasnya, takdirnya sudah tampak kelam. Dajjal terlahir dengan tubuh yang cacat, matanya hanya bisa melihat sebelah, mencerminkan kegelapan yang mendominasi hatinya. Bayi ini tak seperti yang lain—ia menolak menyusui, tak pernah menangis, dan terus-menerus tertidur dalam kesunyian yang mencekam.

Ibunya, yang putus asa, mengalami penderitaan luar biasa. Payudaranya membengkak hebat akibat tak bisa menyusui, membawa rasa sakit yang membakar tubuhnya seperti api yang tak terpadamkan. Hingga akhirnya, dua bulan setelah melahirkan, sang ibu menyerah kepada maut, meninggalkan bayinya yang penuh misteri.

Namun, kematian itu hanyalah awal dari sebuah bencana besar. Tepat setelah sang ibu menghembuskan napas terakhir, gempa dahsyat mengguncang dasar laut di negeri Samirah. Gelombang tsunami yang menggulung menghancurkan seluruh daratan, melibas setiap sudut negeri. Tak ada yang tersisa kecuali kehancuran dan kematian. Pulau itu seakan ditelan oleh amarah alam, meninggalkan sedikit saja saksi dari tragedi yang mengguncang dunia.

Dajjal Diasuh Oleh Jibril

Dajjal, yang terapung di atas air di tengah banjir maha dahsyat, seakan dilindungi oleh kekuatan gelap. Bayi yang tak berdaya itu selamat, sementara hampir seluruh penduduk Samirah binasa. Dari reruntuhan bencana itu, ia tumbuh, membawa takdir mengerikan yang akan mengguncang umat manusia hingga akhir zaman.

Dibalik bencana yang menghancurkan itu, Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun tangan untuk menyelamatkan bayi Samiri—kelak dikenal sebagai biang dari kemunculan Dajjal. Dalam kegelapan malam, bayi kecil itu terapung di atas ombak yang ganas. Dengan kelembutan seorang raja malaikat, Jibril mengangkatnya dari laut yang buas dan membawanya ke sebuah gua sunyi di tengah pulau terpencil.

Di gua itu, Samiri diasuh dengan kasih sayang yang luar biasa oleh Jibril. Tidak dengan tangan manusia biasa, melainkan dengan sentuhan ilahi. Dari ibu jarinya, Jibril mengalirkan air susu surgawi, memberi kehidupan pada bayi itu. Hari demi hari, Samiri tumbuh di bawah asuhan sang Ruhul Qudus, menyerap pengetahuan yang tak terucap dalam kata-kata.

Salah satu rahasia besar yang tersingkap bagi Samiri adalah kemampuan luar biasa Malaikat Jibril: setiap benda yang disentuhnya seolah mendapat ruh, hidup dan bergerak. Inilah alasan Jibril disebut Ruhul Qudus, pembawa kehidupan. Bahkan ketika Nabi Isa membangkitkan orang mati di hadapan Bani Israil, Jibril-lah yang turut membantu dengan melayangkan sayapnya di atas kuburan-kuburan yang dingin dan sunyi.

Namun, rahasia ini kelak menjadi petaka. Samiri, dengan kecerdasannya yang licik, menggunakan pengetahuan ini untuk menyesatkan Bani Israil. Ketika Nabi Musa menyendiri di Gunung Thursina selama 40 hari, Samiri memanfaatkan kesempatan itu. Ia menciptakan patung anak sapi dari emas, yang mampu mengeluarkan suara seolah hidup, menipu kaum Nabi Musa hingga mereka menjadi penyembah berhala.

Kisah tragis ini tercatat panjang lebar dalam Al-Qur’an, dalam Surat Thaha, sebagai peringatan abadi bagi umat manusia.

Kehidupan Remaja Sang Dajjal

Pada usia remaja yang penuh gelora, Samiri keluar dari persembunyiannya, membawa ambisi yang tak terduga dan mencengangkan. Ia memiliki cita-cita yang tak biasa, bahkan menggetarkan: ingin menjadi tuhan. Ia menginginkan umat manusia tunduk dan menyembahnya. Ambisi itu tidak muncul tanpa alasan—Samiri diberkahi dengan keistimewaan luar biasa, hasil dari kedekatannya dengan Malaikat Jibril. Selain itu, ia memiliki anugerah istimewa dari Allah berupa kecakapan luar biasa dan kesehatan yang tak tertandingi.

Diriwayatkan bahwa Samiri, yang juga dikenal sebagai Dajjal, memiliki kelebihan yang mengerikan: ia tidak pernah menua atau menjadi pikun. Setiap kali usianya mencapai 100 tahun, tubuhnya kembali muda seperti sebelumnya, seolah-olah waktu tidak mampu menggoreskan bekas padanya. Inilah salah satu dari sekian banyak keistimewaan yang membuat Samiri berbeda dari manusia lainnya.

Dengan segala ambisinya, dalam perjalanan pertamanya yang penuh tekad, Samiri memutuskan untuk menuntut ilmu sihir dari para guru ternama di masanya. Ia mendatangi penyihir-penyihir legendaris, mulai dari Yaman hingga Mesir, negeri di mana sihir menjadi alat kekuasaan para Fir’aun. Ia tidak sekadar berguru, tetapi juga menguji para master sihir tersebut, dan akhirnya mengalahkan mereka satu per satu dengan kecerdasannya yang luar biasa.

Kemampuan sihir Samiri mencapai puncaknya, menjadikannya tak tertandingi. Ia tidak hanya menjadi seorang master sihir, tetapi juga seorang penguasa teknologi, perpaduan yang membuatnya menjadi figur yang mengerikan di seluruh penjuru dunia. Samiri tidak lagi sekadar manusia; ia menjelma menjadi simbol kekuatan gelap yang abadi, menanti saatnya untuk menggapai ambisi terbesarnya: menjadi penguasa atas umat manusia.

Dajjal Di Zaman Nabi Musa

Dalam sejarahnya yang penuh tipu daya, Dajjal selalu hadir di setiap zaman kenabian dengan satu tujuan: menyesatkan umat manusia dari jalan Allah. Ia bukan hanya sekadar penggoda, tetapi seorang manipulator ulung yang selalu berhasil menjerat hati manusia dengan kebohongannya.

Salah satu catatan gelapnya yang paling mengerikan terjadi pada masa Bani Israil. Saat itu, ia berhasil memalingkan mereka dari menyembah Allah Yang Maha Esa kepada sebuah patung sapi dari emas yang penuh kemilau. Prestasi yang begitu mencengangkan—karena pada waktu itu ada Nabi Harun, seorang pembimbing ruhani yang bijaksana, di tengah-tengah mereka. Dan bahkan, Nabi Musa masih hidup! Namun, Musa tengah bermunajat di Bukit Tursina, dan dalam kekosongan itu, tipu daya Dajjal melalui sosok Samiri merajalela.

Dajjal Di Zaman Nabi Isa

Ketika zaman Nabi Isa tiba, Dajjal tidak menyerah. Ia datang lagi, mencoba menyesatkan. Meski Nabi Isa dengan tegas mengusirnya, Dajjal kembali muncul setelah wafatnya Nabi Isa pada usia 33 tahun. Pada masa inilah Samiri melancarkan penyesatan yang mengerikan, menyerang inti akidah. Bani Israil perlahan meninggalkan ajaran tauhid. Konsep penyembahan Allah Yang Esa digantikan dengan dogma Trinitas; penebusan dosa menjadi alasan untuk berbuat sesuka hati; tradisi khitan yang diperintahkan Allah dihapus; babi dan riba dihalalkan; dan berbagai bid’ah lainnya bermunculan.

Samiri tidak bekerja sendirian. Ia menemukan murid yang setia—Paulus, atau yang dikenal juga sebagai Saul. Ironisnya, Saul dahulu adalah musuh Nabi Isa. Lahir dan besar di keluarga Yahudi yang gemar menyembah anak sapi, Saul membawa warisan kebejatan leluhur dan menggabungkannya dengan filsafat pagan Yunani. Ia lebih dari sekadar murid; Saul menjadi penyambung lidah kegelapan. Ia tidak hanya menyatukan filsafat Yunani dengan ajaran Yahudi, tetapi juga menciptakan sintesis baru yang mencampurkan ajaran Timur Dekat dan tradisi wilayah Bulan Sabit Subur.

Saul melangkah lebih jauh. Ia mendirikan gereja-gereja di seluruh dunia, menanamkan doktrin-doktrin yang menyimpang di hati umat manusia. Dari sinilah lahir Katolikisme—sebuah konsep yang secara harfiah berarti “universal” atau “dunia.” Penyesatan Saul melalui ajaran-ajaran palsunya menjadi pondasi kokoh bagi penyimpangan besar-besaran yang terus berlanjut hingga masa kini. Dajjal melalui Samiri dan Saul meninggalkan jejak kelam yang terus menghantui umat manusia, membuktikan bahwa tipu daya mereka tak pernah main-main.

Dajjal Di Zaman Rasulullah

Pada zaman Rasulullah SAW, Samiri—sosok penuh tipu daya yang dikenal dalam sejarah umat—hidup di tengah para sahabat. Ia menyembunyikan identitasnya di balik nama samar, Ibnu Shayyad. Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat yang sangat yakin bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Dalam beberapa riwayat, Umar bahkan meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk membunuh Ibnu Shayyad.

Namun, Nabi melarangnya dengan alasan bahwa jika Ibnu Shayyad benar-benar adalah Dajjal, maka ia tidak dapat dibunuh sebelum waktunya, sesuai dengan kehendak Allah. Namun, jika ia bukan Dajjal, maka membunuhnya tidak dibenarkan.

Hadis Nabi tersebut menggambarkan perbedaan antara keyakinan Umar dan hikmah Nabi dalam menghadapi situasi ini. Umar tetap merasa bahwa sifat dan perilaku Ibnu Shayyad mencerminkan ciri-ciri Dajjal, terutama karena kesombongannya dan ucapannya yang penuh teka-teki.

Keputusan untuk membiarkan Samiri hidup membuka jalan baginya untuk bergerak leluasa, menanamkan tipu daya dan kesesatan di hati umat manusia. Ia menjadi arsitek di balik sekte-sekte sesat dalam Islam dan munculnya nabi-nabi palsu. Proyek besar Samiri sebagai Sang Dajjal melibatkan penyebaran ribuan hadits palsu yang dirancang dengan cermat oleh tangan-tangan orang Yahudi dan kaum munafik. Setiap kepalsuan yang muncul seolah tak luput dari jejaknya.

Ketika zaman terus bergerak maju, Dajjal menemukan peluang lebih besar untuk menyesatkan umat manusia secara massal. Revolusi Prancis menjadi titik awal era baru bagi Dajjal, membawa ideologi humanisme yang pada hakikatnya menolak Tuhan. Dalam ideologi ini, manusia diangkat menjadi pengganti Tuhan, sebuah gagasan yang selaras dengan misi besar Dajjal.

Dajjal Di Zaman Modern

Untuk mewujudkan ambisinya, Dajjal tidak bekerja sendirian. Ia memilih orang-orang terpilih—yang berdarah Yahudi, atau Nasrani dengan garis keturunan Yahudi, bahkan mereka yang bukan Yahudi tetapi telah ter-Yahudikan secara ideologis. Salah satu nama yang menonjol adalah Adam Weishaupt, sosok yang menghidupkan kembali jaringan Masonik, menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia sebagai alat untuk melancarkan agenda besar Dajjal. Zaman modern pun menjadi panggung utama, tempat manusia tanpa sadar terjerat dalam jaring tipu daya yang semakin sulit dilawan.

Dajjal berhasil mencetak para pemikir besar dari kalangan Yahudi sebagai pionir dalam menyebarkan gagasan-gagasan yang menjadi senjata utamanya. Di antara mereka adalah Renan, yang dikenal sebagai sahabat Muhammad Abduh; Jenderal Meji dari Jepang; Auguste Comte dari Prancis; serta dua tokoh besar dari keluarga rahib Yahudi sejati: Karl Marx dan Sigmund Freud. Tak ketinggalan, seorang pendeta Nasrani yang murtad dan menjadi ateis: Friedrich Nietzsche.

Semua tokoh ini membawa ideologi yang senada—ateisme. Mereka menjadikan manusia sebagai pusat segalanya, memaksa manusia memandang dirinya sendiri sebagai tuhan.
Abad ke-19 menjadi saksi kejatuhan agama Kristen di Eropa. Agama ini menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemikiran ketiga tokoh besar Yahudi: Karl Marx, Sigmund Freud, dan Auguste Comte. Kesimpulan mereka satu: agama adalah tipuan. Agama adalah ilusi yang merendahkan dan menghancurkan martabat manusia.

Karl Marx mengecam agama sebagai “candu masyarakat.” Baginya, agama hanyalah bayangan dari dunia materi. Dalam pandangannya, hanya materi yang nyata, sementara agama hanyalah refleksi buatan manusia—bukan berasal dari Tuhan.

Sigmund Freud memberikan definisi yang lebih menghujat. Ia menyatakan bahwa agama tak lebih dari sublimasi nafsu birahi yang terpendam, sesuatu yang kotor dan tidak pantas. Sementara itu, Auguste Comte, dengan dingin, menempatkan agama sebagai bagian dari tahap primitif pemikiran manusia. Menurutnya, umat manusia telah melewati tahap ini, sehingga agama tak lagi dibutuhkan.

Serangan-serangan pemikiran ini seperti badai yang meluluhlantakkan fondasi agama di Eropa. Mereka membawa satu pesan kuat: agama adalah bayang-bayang dari manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Gagasan ini menciptakan dunia di mana manusia memuja dirinya sendiri sebagai pusat segala sesuatu—dan menjauh dari Pencipta-Nya.

Dua sosok pertama, Freud dan Comte, hadir bak badai dahsyat yang mengguncang dunia ilmiah. Keduanya mencabut ruh spiritual dari pengetahuan, mengikis keberadaan dunia ruhani hingga lenyap tak berbekas. Dalam pandangan mereka, tak ada dunia lain selain yang ada di depan mata: dunia materi semata. Sementara itu, Karl Marx menguasai ranah politik dengan pengaruh yang tak kalah hebat. Dari tangannya, komunisme lahir sebagai ideologi yang menyebar bagai api liar ke seluruh penjuru bumi. Ilmu pengetahuan yang kering dari spiritualitas dan komunisme yang ateis, keduanya memuja manusia sebagai pengganti Tuhan.

Inilah salah satu manifestasi keberhasilan Dajjal dalam mencengkeram sains dan politik abad ke-20. Keberadaannya semakin mengglobal, menguasai setiap sudut kehidupan. Kapitalisme pun menjadi jebakan paling mematikan dari Dajjal, membuat manusia tak hanya memuja benda, tetapi juga menuhankan sesama mereka. Amerika, yang diduga menjadi markas besar Dajjal di era ini, memenangkan pertarungan dunia setelah Perang Dunia Kedua. Dengan kemenangan itu, Amerika menjadi alat utama Dajjal, di bawah kendali para rahib Yahudi yang bergerak dalam bayang-bayang.

Simbol Dajjal terpatri jelas pada mata uang dolar Amerika, dengan Bintang Daud menghiasi berbagai institusi, mulai dari militer hingga hiburan. Televisi, alat propaganda yang sangat efektif, menjadi corong untuk menyebarkan agenda Dajjal dan Yahudi. Dunia digiring untuk tunduk di bawah kekuasaan mereka, perlahan namun pasti, menuju kehancuran spiritual dan perbudakan jiwa.

Demikianlah, Dajjal dan kaum Yahudi untuk sementara ini berada di puncak kejayaan. Tidak ada satu pun sektor yang luput dari kendali mereka. Begitu dahsyat pengaruhnya, hingga nama Amerika pun mereka ganti menjadi nama Dajjal: Samiri. Dari situ lahirlah singkatan Sam, sebagai bentuk penghormatan terhadap Samiri. Mereka bahkan dengan bangga mengangkat simbol Uncle Sam, yang digambarkan sebagai seorang berjubah ala rahib Yahudi: bertudung laken, berjenggot dan berkumis lebat, serta mengenakan setelan jas dan dasi. Segalanya menyerupai penampilan seorang rahib Yahudi yang penuh intrik.

Namun di balik gemuruh kekuasaan itu, cahaya iman mulai berkobar di tengah kaum Muslimin. Kekuatan sejati Islam, yang berlandaskan pada keyakinan yang tulus, perlahan bangkit dari bayang-bayang. Di berbagai penjuru dunia, umat Islam mulai menunjukkan gairah baru untuk menghidupkan agamanya. Masjid-masjid yang dahulu lengang kini perlahan mulai dipenuhi oleh jamaah. Suara takbir dan shalat berjamaah menggema, menjadi momok yang paling ditakuti oleh Dajjal dan pengikutnya.

Orang-orang Islam, dari berbagai kalangan, mulai terpikat untuk menghidupkan sunnah Rasulullah. Dari ibadah hingga muamalah, dari akhlak hingga pengobatan, mereka menghidupkan setiap sunnah yang menjadi senjata paling ampuh setelah dakwah dan shalat berjamaah. Sunnah-sunnah itu, yang dahulu dianggap sepele, kini menjelma menjadi gerakan perlawanan yang berakar pada iman. Dan di setiap masjid yang dipenuhi sujud, Dajjal dan Yahudi merasakan guncangan yang tak kasatmata—gelombang iman yang siap menumbangkan kekuasaan mereka.

Dari segi politik, kaum Muslimin kini perlahan namun pasti merangkak menuju kepemimpinan Khilafah ala Minhajin Nubuwwah—sebuah sistem yang pernah menjadi mercusuar kejayaan di masa emas peradaban Islam. Meski bayangannya belum sepenuhnya tampak dalam wujud nyata, namun tanda-tanda keberhasilannya sudah mengakar. Layaknya aliran air yang tenang, kekuatan ini mengalir pelan, lembut, namun tak terhentikan, menuju gelombang dahsyat yang kelak mengguncang dunia.

Imam Mahdi Al-Muntadhar, yang dahulu menjadi perdebatan di kalangan kaum Muslimin, kini mulai menampakkan harapan akan kepemimpinannya. Bayangan itu semakin nyata, bukan lagi sekadar kemungkinan jauh, tetapi seperti janji yang mendekat dengan setiap detik yang berlalu. Semakin banyak hati kaum Muslimin yang penuh keyakinan, optimisme yang mengalir dari lisan-lisan Nabi dalam hadits-haditsnya. Keyakinan ini justru semakin kuat di dada mereka yang istiqamah dalam perjuangan, menjaga api Islam tetap menyala, dan mempersiapkan umat menuju kembalinya kejayaan.

Al Mahdi akan mengarahkan pasukan menuju Persia, pusat Syi’ah dan berbagai inovasi yang menyimpang. Negeri ini disebut sebagai tempat keluarnya Dajjal di akhir zaman, tepatnya di wilayah Isfahan, Persia. Dengan penuh keyakinan, mereka akan menghadapi tantangan besar yang datang dari tanah ini.

Namun perjuangan belum berakhir di sana. Turki sekuler menjadi target berikutnya, sebuah wilayah yang dalam struktur Masonik Internasional diklaim sebagai suku ke-13 dari ras Yahudi. Sebuah teka-teki gelap, bagaimana ras Yahudi yang awalnya berjumlah 12 dapat bertambah menjadi 13 dengan melibatkan bangsa Turki. Sebuah konspirasi yang menciptakan aliansi mengerikan, menunggu untuk dihadapi oleh pasukan Imam Mahdi yang penuh keberanian.

Maka, perjuangan ini bukan sekadar penaklukan wilayah, tetapi sebuah perjalanan epik untuk mengembalikan kemuliaan Islam, melawan pengkhianatan dalam dan ancaman luar yang menodai keimanan umat. Pertempuran ini akan mengubah wajah dunia, membawa umat kembali kepada jalan yang diridhai Allah SWT.

India: Target Kegelapan di Zaman Modern

India, negeri yang menjadi simbol kegelapan dunia di era modern, adalah tujuan berikutnya. Di saat peradaban lain telah meninggalkan praktik penyembahan terhadap binatang, India masih tenggelam dalam keyakinan kuno. Sapi, monyet, bahkan ular, dianggap sebagai dewa-dewa mereka.

Sebuah kenyataan yang membuatnya tampak seperti miniatur bangsa kuno di tengah abad modern—seandainya bukan karena keberadaan orang-orang dakwah yang membawa cahaya Islam. Namun, suatu hari kelak, ketika zaman Imam Mahdi tiba, satu miliar jiwa dari penduduk India akan berbondong-bondong menerima Islam sebagai kebenaran.

Bangsa Kiraman: Asia Timur dan Jejak Garis Nabi

Selanjutnya, Nabi Muhammad menyebutkan bangsa Kiraman sebagai salah satu target penting. Ciri-ciri bangsa ini digambarkan dengan mata sipit, yang mengisyaratkan mereka adalah penghuni Asia Timur: Cina, Jepang, Mongolia, Korea, dan bahkan Indonesia.

Ya, Indonesia, yang secara genealogis memiliki jejak asal dari Cina. Hanya saja, perbedaan iklim antara Asia Timur dan Asia Tenggara membuat tampilan fisik mereka berbeda. Namun, pada dasarnya, akar mereka sama.

Roma: Akhir dari Simbol Kesyirikan

Pada akhirnya, Imam Mahdi bersama Isa bin Maryam akan melangkah menuju Roma, pusat kekuatan Katolik sekaligus simbol bid’ah besar dalam tradisi Abrahamik. Di sanalah, mereka akan menghancurkan salib—lambang kesyirikan yang telah menyimpang dari ajaran Nabi Ibrahim. Semangat mereka membara untuk mengembalikan kemurnian ajaran tauhid. Tak hanya salib yang dihancurkan, tetapi juga babi—hewan yang pernah dihalalkan oleh Paulus, pendiri Katolik, sebagai simbol pelanggaran terhadap hukum langit. Saat itu, gelombang keimanan akan mengguncang dunia. Orang-orang Nasrani berduyun-duyun menyerahkan diri kepada Islam, mengakui kebenaran yang tak terbantahkan.

Zaman Kemenangan Tauhid

Masa itu akan menjadi puncak kemenangan bagi tauhid, saat dunia kembali kepada satu kebenaran sejati. Cahaya Islam akan menerangi sudut-sudut tergelap, menggantikan segala bentuk kesyirikan dan penyimpangan. Zaman keemasan umat Islam pun tiba, membawa harapan baru bagi dunia yang telah lama tenggelam dalam kegelapan.

Setelah peristiwa besar ini, dunia terpecah menjadi dua: Islam dan Yahudi. Mengapa demikian? Karena seluruh umat manusia telah memeluk Islam, kecuali bangsa Yahudi. Bangsa yang kini tidak lebih dari 12 juta jiwa ini memilih mati daripada tunduk kepada kebenaran Islam. Pilihan itu membawa mereka pada kehancuran. Kaum muslimin yang dipimpin oleh kekuatan iman memburu mereka tanpa ampun. Hingga akhirnya, bangsa Yahudi terdesak, lari terbirit-birit, dan bersembunyi di balik bebatuan dan pepohonan.

Namun, kebencian semesta terhadap mereka begitu mendalam. Bahkan batu dan pohon, dengan kebencian yang membara, mengkhianati persembunyian mereka. Kecuali satu pohon: pohon Gharqad. Nabi telah bersabda, “Itulah pohon Yahudi.”
Pada saat yang sama, dalam penaklukkan Roma yang gemilang, muncul Dajjal si pengecut dari persembunyiannya. Seperti nubuat dalam hadis, ia keluar dari Ishbahan dengan 70 ribu pasukan Yahudi. Bersamanya juga terdapat 70 ribu ulama jahat, wanita-wanita yang membuka aurat, dan para pemusik yang meracuni hati manusia.

Dajjal, dengan seluruh kekuatannya, melancarkan serangan ke Syam (Palestina), menghancurkan barisan pasukan Imam Mahdi dan Isa bin Maryam. Di tengah kegelapan fajar, setelah shalat Subuh, pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh Al-Mahdi bergerak. Dajjal, dengan kesombongannya, maju untuk menantang mereka. Namun, di gerbang Lud, Palestina, takdir bertemu dengan Dajjal. Isa bin Maryam, dengan kekuatan yang diberikan oleh Allah, menghadapi sosok yang telah menyesatkan dunia selama ribuan tahun.

Tubuh Dajjal, yang penuh kebusukan, tak mampu menahan kekuatan Isa. Seperti lilin yang meleleh terkena api atau garam yang hancur dalam air, Dajjal lenyap, membawa bersamanya sejarah panjang fitnah dan bid’ah yang telah mencengkeram dunia selama lebih dari 4500 tahun.

Baca Juga : Tahapan Kehidupan Setelah Kematian

Setelah kehancuran Dajjal, dunia berubah. Cahaya kedamaian menyelimuti seluruh penjuru bumi. Keamanan dan kemakmuran material serta spiritual bersatu dalam harmoni. Dunia dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil, kuat, dan saleh: Al-Mahdi. Dialah khalifah terakhir umat Islam dan pemimpin dunia, mewujudkan kembali Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Era itu adalah puncak dari keadilan dan keberkahan yang belum pernah disaksikan umat manusia sebelumnya.

About administrator

Kami Menyediakan Informasi Berdasarkan Sumber Yang Kredibel dan Terpecaya

Tinggalkan Balasan