Pria tampan ini dipaksa nikahi wanita lumpuh kaya oleh ibunya, hanya demi lunasi seluruh hutang ibunya. Namun saat malam pertama ia terkejut. Apa yang terjadi? Simak cerita lengkapnya berikut ini.
Cerpen Pria Tampan Dipaksa Menikahi Wanita Lumpuh Kaya Oleh Ibunya
Di sebuah gang sempit di pinggiran Jakarta, tepatnya di kawasan Cipinang, Andre tinggal bersama ibunya, Bu Sari. Gang itu hanya cukup dilalui satu motor, dikelilingi deretan rumah-rumah sederhana berdinding bata merah, sebagian masih tampak kasar tanpa plester.
Rumah mereka termasuk di antara banyak rumah kecil yang berdiri rapat, tanpa halaman, hanya memiliki satu ruang multifungsi sebagai ruang tamu dan dapur, serta kamar tidur yang nyaris tidak cukup untuk dua orang dewasa. Setiap pagi, aroma sayur segar dari pasar tradisional terbawa angin hingga ke gang ini, menghadirkan suasana ramai yang tetap terasa hangat.
Video Pria Tampan Dipaksa Menikahi Wanita Lumpuh Kaya Oleh Ibunya
Kalau Kamu Lebih Nyaman Dengar Ceritanya, Ini Versi Audionya
Andre, pemuda berusia 24 tahun, menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal beberapa tahun silam. Ia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik garmen yang letaknya cukup jauh dari rumah. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Andre sudah bangun dan bergegas mengejar angkot menuju pabrik tempatnya menjahit seragam sekolah dan pakaian kerja.
Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan kerap mencuri perhatian para gadis di lingkungan tempat tinggalnya. Namun, Andre tak pernah menyisihkan waktu atau niat untuk urusan cinta. Baginya, hidup saat ini hanyalah soal bertahan dan memastikan ibunya bisa makan setiap hari.
Bu Sari, ibu Andre, adalah pedagang sayur di pasar tradisional Cipinang. Meski usianya hampir menginjak 50 tahun, ia tetap tampak tangguh—kulitnya mengeriput karena sering terpapar matahari, dan tangannya kasar, terbiasa mengangkat beban berat setiap hari.
Namun di balik ketegaran itu, ada beban besar yang terus menghantui pikirannya: hutang. Hutang yang membuat tidurnya tak pernah benar-benar lelap, dan langkahnya terasa semakin berat setiap kali melangkah menuju pasar. Semua bermula beberapa tahun lalu, saat suaminya, Pak Herman, jatuh sakit parah. Untuk membiayai pengobatannya, Bu Sari terpaksa meminjam uang dalam jumlah besar dari Pak Soleh.
Pak Soleh adalah pemilik toko emas terbesar di kawasan itu. Sayangnya, meski segala usaha telah dilakukan, Pak Herman tetap tak tertolong dan meninggal dunia. Ia meninggalkan Bu Sari dan Andre dengan tumpukan hutang yang terus membesar.
Awalnya, Bu Sari yakin bisa mencicil pembayaran dari hasil berdagang sayur. Namun, kenaikan harga barang dan omzet yang tak menentu membuat segalanya semakin sulit. Kini, hutang itu telah membengkak menjadi jumlah yang mengkhawatirkan, dan Pak Soleh mulai kehilangan kesabaran.
Sore itu, setelah seharian bekerja di pabrik, Andre pulang ke rumah dengan wajah yang dipenuhi kelelahan. Ia melepas sepatu bututnya di depan pintu, lalu langsung menuju dapur mencari sesuatu untuk dimakan. Namun yang ia temukan hanyalah sepiring nasi dingin dan sisa tumis kangkung yang nyaris basi.
Di ruang tamu, Bu Sari duduk di kursi plastik dengan kepala tertunduk dan wajah murung. Di tangannya tergenggam secarik kertas yang tampak seperti surat tagihan.
“Bu, kenapa enggak masak yang baru?” tanya Andre sambil meletakkan tas kerjanya di atas meja. Bu Sari mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. “Maaf ya, Nak… Ibu enggak ada uang buat belanja lagi,” ucapnya pelan, suaranya gemetar.
Andre menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar keluhan seperti itu. Tapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih berat terpancar dari raut wajah ibunya—bukan sekadar soal uang.
“Ada apa, Bu? Kayaknya Ibu lagi mikirin sesuatu yang besar…”
Bu Sari menatap Andre dengan sorot mata penuh rasa bersalah. “Nak, Ibu… Ibu udah nggak tahu harus gimana lagi. Tadi pagi, Pak Soleh datang ke pasar. Dia bilang, kalau bulan ini kita nggak bisa bayar cicilan, dia bakal ambil langkah lain,” ucapnya lirih.
Jantung Andre langsung berdegup kencang. Ia sangat mengenal reputasi Pak Soleh—seorang pebisnis yang dikenal tegas dan tak ragu menggunakan cara-cara keras demi menagih haknya. Andre pernah mendengar kisah orang-orang yang gagal membayar utang kepada Pak Soleh dan akhirnya kehilangan rumah mereka.
“Lalu… apa yang mau kita lakuin, Bu?” tanya Andre dengan nada cemas.
Bu Sari terdiam sejenak, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan sesuatu yang berat. Akhirnya, ia berkata pelan, “Pak Soleh… dia kasih solusi. Katanya, kalau kamu mau nikah sama anaknya, semua hutang kita bakal dilunasi.” Andre terbelalak. “Apa? Nikah… sama anaknya?” “Iya, Nak. Namanya Puspa. Dia lumpuh sejak kecelakaan beberapa tahun lalu. Tapi dia baik, cantik, dan keluarganya kaya raya. Kalau kamu setuju… semua masalah kita selesai.”
Andre merasa seperti tersambar petir. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sampai di titik ini—menikahi seorang wanita yang bahkan tak ia kenal, hanya demi melunasi hutang.
“Tapi Bu, aku nggak cinta sama dia. Aku bahkan nggak kenal dia itu siapa,” protesnya dengan suara tercekat.
“Ibu juga nggak mau seperti ini, Nak. Tapi apa lagi yang bisa kita lakukan? Kalau hutang itu nggak dibayar, kita bisa kehilangan rumah ini. Ibu nggak sanggup lihat kamu terus hidup dalam kesusahan.”Andre terdiam. Ia tahu ibunya tidak salah. Mereka benar-benar tidak punya pilihan lain.
Jika hutang itu tak dilunasi, mereka bisa kehilangan segalanya. Tapi… bagaimana mungkin ia menikahi seorang wanita yang lumpuh hanya demi uang?
Malam itu, Andre tak bisa tidur. Kata-kata ibunya terus terngiang di telinganya. Ia membayangkan hidup bersama wanita yang tidak ia cintai. Terlebih lagi, wanita itu lumpuh.
Apakah ia bisa menerima keadaan seperti itu? Apakah ia sanggup bertahan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam kepalanya, membuatnya gelisah sepanjang malam.
Keesokan paginya, setelah berpikir panjang dan kembali berbicara dengan ibunya, Andre akhirnya mengambil keputusan. Ia setuju untuk menikah.
Bukan karena keinginan hatinya, tapi karena ia merasa tidak ada jalan lain. Dan ia tahu… hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Namun untuk ibunya, ia mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Beberapa minggu setelah keputusan Andre untuk menerima pernikahan itu, persiapan pun dimulai. Namun bukan pernikahan seperti yang sering diimpikan oleh banyak orang.
Tidak ada gaun pengantin putih yang megah. Tidak ada dekorasi bunga yang indah. Dan tidak ada tawa bahagia dari pasangan yang saling mencintai. Semua berjalan dengan cepat, sederhana, dan penuh tekanan. Pak Soleh, ayah Puspa, tampaknya ingin segera menyelesaikan masalah ini.
Ia memilih sebuah gedung pertemuan kecil di pinggir kota untuk acara pernikahan. Gedung itu biasanya digunakan untuk arisan keluarga atau rapat komunitas. Tetapi kali ini dipenuhi dengan kursi-kursi plastik yang disusun rapi dan hiasan kain polos berwarna merah marun.
Di bagian tengah terdapat pelaminan sederhana dengan dua kursi kayu yang dilapisi kain brokat emas. Suasananya jauh dari kata mewah, namun cukup layak untuk sebuah pernikahan yang didasarkan pada transaksi hutang.
Andre berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan setelan jas lusuh milik almarhum ayahnya. Jas itu terlihat agak sempit di tubuhnya yang tegap, dan warnanya sudah mulai pudar karena usia. Ia menatap bayangannya sendiri tanpa ekspresi.
Matanya kosong, seolah-olah ia sedang melihat sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya. Nasib yang ia sendiri tidak bisa kendalikan. “Kamu siap?” Suara Bu Sari memecah keheningan. Ia muncul di pintu kamar dengan wajah cemas, tetapi juga ada secercah harapan di matanya.
Ini adalah hari ketika beban hidup mereka akhirnya akan terangkat. Meskipun caranya terasa begitu menyakitkan, Andre hanya mengangguk pelan. “Iya Bu,” katanya datar. Bu Sari mendekati anaknya dan merapikan kerah jasnya dengan tangan gemetar. “Maaf ya Nak, Ibu enggak punya pilihan lain.” Andre tersenyum tipis meski senyum itu tidak sampai ke matanya. “Enggak apa-apa Bu, aku ngerti.”
Di sisi lain, Puspa bersiap di rumah mewahnya yang luas. Rumah itu berada di kompleks elit, dikelilingi oleh pagar tinggi dan taman yang tertata rapi. Ruang tamunya dipenuhi furnitur mahal dan lampu kristal yang berkilauan. Namun bagi Puspa, semua kemewahan itu tidak ada artinya dibandingkan dengan tekanan yang ia rasakan setiap hari.
Puspa duduk di depan meja rias besar dengan cermin oval yang dikelilingi lampu-lampu kecil. Ia mengenakan kebaya modern berwarna biru muda dengan detail bordir yang elegan. Seorang penata rias sedang merapikan rambutnya menjadi sanggul rendah, sementara asisten lainnya memoles wajahnya dengan makeup natural.
Meski penampilannya begitu cantik, matanya tampak kosong penuh kelelahan batin. “Kenapa harus aku,” gumam Puspa pelan, nyaris tidak terdengar oleh para asistennya. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukan tentang cinta. Ayahnya telah memutuskan semuanya tanpa memedulikan perasaannya.
Bagi Pak Soleh, ini adalah cara untuk menyelesaikan masalah hutang keluarga Andre sekaligus menjaga reputasi keluarganya sendiri. Puspa hanya dijaAndren alat untuk mencapai tujuan itu. “Aku gak mau nikah sama dia,” kata Puspa kepada ibunya, Bu Nisa, saat mereka berbicara di ruang keluarga beberapa hari sebelumnya.
“Aku bahkan enggak kenal dia.” “Dia anak baik, sayang,” jawab Bu Nisa dengan nada sabar. “Lagi pula kamu kan lumpuh. Tidak banyak pria yang mau menikahi wanita sepertimu.” “Tapi aku gak butuh belas kasihan, Bu! Aku gak mau hidup dengan pria yang cuma ngejar harta kita!”
Bu Nisa menghela napas panjang. “Sayang, kamu harus paham. Kehidupanmu gak cuma soal dirimu sendiri. Keluarga kita juga punya tanggung jawab. Kalau kamu enggak menikah, siapa yang bakal nerusin nama baik keluarga?” Puspa tidak bisa membantah. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan mundur.
Ia hanya bisa menundukkan kepala dan menerima takdirnya dengan hati yang penuh amarah dan frustrasi. Acara pernikahan berlangsung tanpa banyak bicara. Tamu-tamu yang hadir hanyalah keluarga dekat dari kedua belah pihak serta beberapa tetangga yang diundang sebagai formalitas.
Andre dan Puspa duduk di pelaminan, saling bertukar pandang tanpa ada rasa hangat di antara mereka. Andre merasa canggung, sementara Puspa tampak acuh tak acuh, seolah-olah ia tidak peduli dengan apa yang terjadi. Setelah prosesi ijab kabul selesai, acara pun berakhir dengan cepat.
Beberapa tamu memberikan ucapan selamat secara singkat, tetapi sebagian besar dari mereka hanya mengucapkan basa-basi tanpa benar-benar merasakan kebahagiaan. Andre dan Puspa kemudian meninggalkan gedung itu menuju rumah baru mereka, sebuah apartemen sederhana yang disediakan oleh Pak Soleh.
Saat tiba di apartemen, suasana semakin sunyi. Andre membantu Puspa turun dari mobil dengan hati-hati, lalu mendorong kursi rodanya menuju pintu masuk. Apartemen itu tidak besar tapi cukup nyaman untuk dua orang. Ada satu kamar tidur, ruang tamu minimalis, dapur kecil, dan kamar mandi yang bersih.
“Kamu capek?” tanya Andre sambil meletakkan tas-tas yang mereka bawa di sofa. Puspa menggeleng pelan. “Enggak,” jawabnya dingin. “Mungkin kamu yang capek.” Andre tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk masuk ke kamar tidur untuk membersihkan diri. Puspa tetap diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Malam itu atmosfer di antara mereka begitu dingin. Tidak ada percakapan, tidak ada tawa, hanya ada keheningan yang menyelimuti.
Andre merasa seperti sedang menjalani hukuman, sementara Puspa merasa seperti korban dari keputusan orang lain. Mereka berdua sama-sama terjebak dalam situasi yang tidak mereka inginkan, tanpa tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Namun di balik semua ketegangan itu, ada satu hal yang belum mereka sadari. Mereka berdua memiliki kesamaan. Mereka sama-sama korban dari keadaan, sama-sama dipaksa untuk menerima nasib mereka demi kepentingan orang lain.
Dan meskipun awalnya penuh dengan kebencian dan kecurigaan, ada kemungkinan bahwa mereka bisa menemukan pemahaman bersama jika mereka bersedia membuka hati. Matahari mulai terbenam di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, meninggalkan jejak cahaya keemasan yang memudar di langit.
Di dalam apartemen sederhana yang kini menjadi rumah mereka, suasana tetap tegang. Andre duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya tanpa benar-benar membaca pesan-pesan yang masuk. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana cara menjalani hidup dengan wanita yang bahkan tidak ia kenal? Puspa, di sisi lain, masih berada di kursi rodanya, memandang keluar jendela dengan ekspresi datar. Ia tampak seperti patung, diam dan tidak bergerak.
Kursi roda itu, simbol kelemahan yang selama ini ia gunakan untuk melindungi dirinya dari dunia luar, kini menjadi penjara bagi hatinya sendiri. Setelah beberapa saat, Puspa akhirnya berbicara. “Aku mau ke kamar mandi,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
Andre tersentak dari lamunannya. Ia bangkit dari sofa dan mendekati Puspa. “Mau aku bantu?” tanyanya, meski nadanya terdengar lebih seperti kewajiban daripada keinginan. Puspa mengangguk singkat. Andre mendorong kursi roda menuju kamar mandi.
Saat mereka sampai di depan pintu, Puspa berkata, “Tinggalkan aku sebentar.” Andre ragu sejenak, akhirnya mengangguk. Ia mundur ke ruang tamu, memberikan Puspa privasi yang ia minta. Namun hanya beberapa detik setelah ia duduk kembali di sofa, ia mendengar suara yang membuatnya terkejut.
Suara langkah kaki. Langkah-langkah itu terdengar ringan namun pasti, seolah-olah seseorang sedang berjalan di atas ubin kamar mandi. Andre langsung berdiri, matanya melebar, jantungnya berdegup kencang. Langkah kaki itu… bagaimana mungkin? Bukankah Puspa lumpuh?
Perlahan-lahan, pintu kamar mandi terbuka. Andre mematung di tempatnya, napasnya tertahan, matanya membelalak ketika sosok Puspa muncul di ambang pintu.
Tidak ada kursi roda. Tidak ada tanda-tanda kelemahan fisik. Wanita itu berdiri tegak, wajahnya pucat tetapi tenang, menatap Andre dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Apa… apa maksudmu ini?” tanya Andre dengan suara gemetar, mencoba memahami apa yang baru saja ia lihat. Puspa melangkah mendekat. Kakinya bergerak dengan sempurna, seperti orang normal.
Ia berhenti beberapa langkah dari Andre, menundukkan kepala. “Aku… aku tidak lumpuh,” katanya dengan nada pelan, hampir seperti bisikan. Andre merasa seperti disambar petir. Seluruh tubuhnya menegang, otaknya berusaha memproses kata-kata itu. “Jadi semua ini cuma pura-pura? Kamu enggak lumpuh?” Puspa mengangguk perlahan. “Iya,” katanya.
“Aku sudah berpura-pura lumpuh selama bertahun-tahun. Aku… aku enggak punya pilihan lain.” “Tapi kenapa? Kenapa kamu berbohong?” tanya Andre. Amarah mulai menyusup ke dalam suaranya. “Kamu tahu aku menikahi kamu karena dipaksa. Aku pikir kamu butuh bantuan, tapi ternyata ini cuma sandiwara!”
“Aku enggak mau nikah sama kamu!” bentak Puspa tiba-tiba. Air mata mulai menggenang di matanya. “Aku dipaksa sama ayahku. Dia bilang kalau aku enggak mau menikah, dia bakal bikin hidupku susah. Jadi aku pura-pura lumpuh supaya enggak ada pria yang mau dekat-dekat aku.”
“Aku enggak mau nikah sama siapapun yang cuma ngejar harta keluarga.” Andre terdiam. Kata-kata Puspa seperti pukulan keras yang membuatnya sadar bahwa ia bukan satu-satunya korban dalam situasi ini. Mereka berdua sama-sama dipaksa oleh orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan.
“Tapi kenapa kamu enggak bilang dari awal?” tanya Andre dengan suara lebih lembut, meski masih ada rasa marah di dalamnya. “Aku gak bisa,” jawab Puspa. Suaranya bergetar. “Aku takut ayahku akan marah besar kalau dia tahu aku enggak lumpuh. Lagi pula aku gak yakin kamu bakal percaya.”
Andre menghela napas panjang. Ia merasa campuran antara kemarahan, kebingungan, dan rasa iba. Ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Puspa karena ia juga tahu bagaimana rasanya dipaksa oleh orang tua. Namun, fakta bahwa Puspa telah membohonginya sejak awal tetap sulit diterima.
“Jadi sekarang apa?” tanya Andre akhirnya. “Kita udah menikah. Kamu enggak lumpuh. Terus kita harus gimana?” Puspa menatapnya dengan mata basah. “Aku gak tahu,” katanya pelan. “Aku cuma… aku cuma ingin jujur sama kamu. Aku enggak mau kita hidup kayak gini terus. Kita sama-sama enggak bahagia.”
Andre terdiam sejenak. Ia memandangi wajah Puspa yang kini tampak lebih rapuh daripada saat ia masih berpura-pura lumpuh. Ada sesuatu di mata Puspa—kerapuhan, ketulusan, dan harapan kecil yang mulai menyala. Andre menyadari bahwa meskipun mereka dimulai dengan alasan yang salah, mungkin ada kesempatan memperbaikinya.
“Baiklah,” kata Andre akhirnya. “Kita mulai lagi dari awal. Tapi kamu harus janji enggak akan bohong lagi sama aku. Kita gak bisa lanjut kalau masih ada rahasia di antara kita.” Puspa mengangguk cepat. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku janji,” katanya dengan suara serak. “Aku enggak akan bohong lagi.”
Malam itu mereka berdua duduk di sofa, saling berbagi cerita tentang kehidupan mereka sebelum pernikahan. Andre menceritakan tentang masa kecilnya yang penuh perjuangan, tentang ayahnya yang meninggal karena penyakit, dan tentang tekanan yang ia rasakan sebagai tulang punggung keluarga.
Puspa di sisi lain menceritakan tentang kehidupannya yang terisolasi, tentang bagaimana ia harus bersembunyi di balik kursi roda agar tidak diganggu oleh para pria yang hanya mengincar hartanya, dan tentang tekanan dari keluarganya yang selalu memaksanya untuk menjadi sempurna.
Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ada rasa nyaman di antara mereka. Meskipun masih ada banyak hal yang harus mereka bicarakan dan atasi, mereka mulai merasakan benih-benih pemahaman dan kepercayaan satu sama lain.
Matahari pagi mulai muncul di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, menyinari apartemen kecil yang kini menjadi rumah bagi Andre dan Puspa. Udara pagi terasa segar, meskipun suara bising kendaraan dari jalan raya tetap mengiringi ritme kehidupan mereka.
Hari itu adalah hari pertama setelah malam penuh kejutan. Malam ketika kebenaran tentang kondisi fisik Puspa terungkap. Awalnya suasana masih sedikit canggung, namun ada sesuatu yang berbeda di antara mereka—ada rasa saling pengertian yang mulai tumbuh meski perlahan.
Andre bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan dirinya untuk pergi bekerja. Namun kali ini ia tidak langsung bergegas keluar pintu. Ia melihat Puspa duduk di meja makan kecil di dapur, sibuk dengan secangkir teh hangat dan sebuah buku agama Islam di tangannya. Itu adalah salah satu buku yang Andre bawa dari rumah ibunya, yang ia letakkan begitu saja di rak tanpa banyak pikir.
Melihat Puspa membaca buku itu membuatnya terkejut sekaligus penasaran. “Kamu baca apa?” tanya sambil menuangkan air panas ke dalam gelasnya. Puspa menoleh, wajahnya tampak lebih cerah daripada kemarin.
“Ini buku tentang Islam,” katanya pelan. “Aku belum pernah benar-benar belajar soal agama. Aku cuma tahu dasar-dasarnya.” Andre tersenyum tipis. “Kenapa tiba-tiba tertarik?” “Aku… aku enggak tahu,” jawab Puspa menundukkan kepala sejenak.
“Tapi semalam setelah kita bicara aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Mungkin… mungkin aku butuh lebih banyak arahan. Kamu bisa ajarin aku?” Andre terdiam sejenak. Tawaran itu datang begitu tiba-tiba.
Tetapi entah kenapa ia merasa ada tanggung jawab untuk membantu Puspa. Ia sendiri bukanlah orang yang sangat religius, tapi ia memiliki pemahaman dasar tentang Islam yang cukup baik berkat diAndren ibunya.
“Baiklah,” kata Andre akhirnya. “Kita bisa mulai pelan-pelan. Setiap hari kalau kamu mau, kita bisa belajar bareng.” Puspa tersenyum, mata coklatnya berkilauan karena rasa syukur. “Terima kasih,” katanya pelan.
Sejak saat itu, rutinitas baru dimulai di antara mereka. Setiap sore setelah Andre pulang dari pabrik, mereka akan duduk bersama di ruang tamu atau di meja makan kecil, membaca buku-buku agama dan mendiskusikan isinya.
Andre menjelaskan konsep-konsep dasar seperti salat, puasa, zakat, dan haji dengan cara yang mudah dipahami. Ia juga berbagi kisah-kisah inspiratif dari kehidupan Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya.
Puspa mendengarkan dengan penuh perhatian, seringkali mencatat hal-hal penting di buku kecilnya. Selain belajar agama, mereka juga mulai berbicara lebih banyak tentang kehidupan sehari-hari.
Puspa menceritakan tentang masa kecilnya yang penuh tekanan sebagai anak tunggal dari keluarga kaya. Ia selalu diharapkan untuk menjadi sempurna—sempurna dalam penampilan, sempurna dalam sikap, sempurna dalam segala hal.
Tekanan itu membuatnya memutuskan untuk berpura-pura lumpuh agar ia bisa lepas dari sorotan dunia luar. “Aku enggak pernah punya teman dekat,” kata Puspa suatu hari, suaranya bergetar.
“Semua orang cuma peduli sama hartaku. Bahkan cowok-cowok yang dekatin aku, mereka cuma ngejar uangku. Aku gak pernah tahu gimana rasanya dicintai karena diriku sendiri.” Andre mendengarkannya dengan penuh empati.
Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam situasi seperti itu. Meskipun kehidupannya jauh lebih sederhana dibandingkan Puspa, ia setidaknya memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
“Kamu enggak sendirian lagi,” kata Andre dengan nada mantap. “Aku gak ngejar hartamu, Puspa. Aku cuma… aku cuma ingin kita bisa saling dukung.” Puspa menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Ada rasa haru yang mendalam di hatinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa meminta imbalan apapun. Di sisi lain, Puspa juga mulai menunjukkan perubahan dalam dirinya.
Ia tidak lagi bergantung pada kekayaan keluarganya untuk segala hal. Ia mencoba belajar memasak, meskipun hasilnya seringkali kurang sempurna. Ia juga mulai belanja kebutuhan sehari-hari sendiri di pasar tradisional.
Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan karena selalu diurus oleh asisten rumah tangga. Suatu sore, ketika Andre pulang kerja, ia menemukan Puspa sedang sibuk di dapur.
Meja makan dipenuhi oleh sayuran yang sudah dipotong-potong dan panci besar berisi sup ayam sedang mendidih di atas kompor. “Apa ini?” tanya Andre heran melihat aktivitas Puspa.
“Aku coba masak sup buat kita,” jawab Puspa dengan senyum malu-malu. “Aku gak yakin rasanya enak, tapi aku ingin mencoba sesuatu yang baru.” Andre tersenyum lebar. “Wah, hebat sekali. Aku gak nyangka kamu bisa masak.”
Puspa tertawa kecil. “Aku juga gak nyangka. Ternyata masak itu enggak semudah yang aku bayangkan.” Mereka duduk bersama di meja makan malam itu, menikmati sup yang rasanya sedikit asin tetapi tetap lezat karena dibuat dengan cinta.
Andre memuji usaha Puspa dan Puspa merasa bangga dengan pencapaian kecilnya. Ada kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan materi.
Namun di tengah momen-momen indah itu, ada bayangan gelap yang masih menghantui mereka. Hubungan mereka belum sepenuhnya damai. Masih ada konflik internal yang harus mereka hadapi, terutama terkait keluarga mereka masing-masing.
Puspa khawatir bahwa ayahnya akan marah besar jika mengetahui bahwa ia tidak lagi berpura-pura lumpuh. Sementara itu, Andre merasa tertekan oleh desas-desus dari tetangga-tetangganya tentang pernikahannya yang dianggap sebagai transaksi dagang.
Suatu malam setelah mereka berdoa bersama, Puspa bertanya, “Apa kita bisa terus begini? Hidup tanpa tekanan dari keluarga kita?” Andre menghela napas panjang. “Aku gak tahu, Ra. Kita harus coba.”
“Kita gak bisa terus hidup dalam bayang-bayang orang lain. Kita harus cari cara untuk bahagia dengan cara kita sendiri.” Puspa mengangguk, meski masih ada rasa ragu di hatinya.
Namun ia tahu bahwa Andre benar. Jika mereka ingin melanjutkan hidup bersama, mereka harus berani menghadapi tantangan yang ada. Beberapa minggu setelah malam penuh kejujuran dan awal yang baru, hubungan Andre dan Puspa mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan.
Mereka belajar untuk saling mengerti dan mendukung satu sama lain. Meski masih ada rasa canggung di sela-sela percakapan mereka. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Bayangan keluarga mereka masing-masing mulai menyusup kembali ke dalam kehidupan mereka, membawa angin badai yang mengancam stabilitas rumah tangga yang rapuh.
Suatu pagi, ketika Andre sedang bersiap untuk pergi bekerja, ponselnya berdering. Di layar tertera nama Bu Sari. Ia segera menjawab panggilan itu dengan nada suara yang biasanya tenang. “Halo Bu,” kata Andre sambil membenahi dasi lusuhnya. “Andre… Nak, kamu harus pulang sekarang,” kata Bu Sari dengan nada panik.
Ada masalah besar. Andre langsung merasa waswas. “Apa yang terjadi, Bu?” “Pak Soleh datang ke pasar tadi pagi. Dia ngomong macam-macam soal Puspa. Katanya dia curiga kalau anaknya udah gak lumpuh lagi. Dia bilang kalau kamu pengaruh buruk buat Puspa.” Andre menahan napas, hatinya dipenuhi oleh firasat buruk. “Baiklah Bu, aku akan ke sana secepatnya.”
Setelah menutup telepon, Andre bergegas memberitahu Puspa tentang apa yang terjadi. Wajah Puspa langsung pucat saat mendengar kabar itu. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan mudah menerima fakta bahwa ia telah berpura-pura lumpuh selama bertahun-tahun. “Ayah pasti marah besar,” gumam Puspa pelan, matanya berkaca-kaca.
Andre mendekati istrinya dan meletakkan tangan di pundaknya. “Kita hadapi ini bersama-sama, Puspa. Kamu enggak sendirian.” Saat tiba di pasar tradisional, situasinya sudah tegang. Bu Sari duduk di kursi plastik di depan lapak sayurnya, wajahnya penuh kekhawatiran. Beberapa tetangga berkerumun di sekitarnya.
Mereka mencoba mendengarkan apa yang terjadi. Di tengah kerumunan itu, Pak Soleh berdiri dengan sikap angkuh. Wajahnya memerah karena amarah. “Jadi ini benar ya?” bentak Pak Soleh kepada Bu Sari. “Anakmu sudah berhasil mengubah Puspa. Sekarang dia gak pakai kursi roda lagi.”
Bu Sari menundukkan kepala, tidak berani menatap mata Pak Soleh. “Pak, saya gak tahu apa-apa soal itu. Saya cuma pedagang kecil.” “Tapi kamu punya anak yang tinggal bareng anakku,” potong Pak Soleh. “Kamu pikir aku enggak tahu apa yang terjadi? Andre pasti sudah mempengaruhi Puspa.”
Sebelum Bu Sari bisa menjawab, Andre muncul di tengah kerumunan. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi kecemasan. Semua orang langsung menoleh padanya, termasuk Pak Soleh yang langsung melangkah mendekat. “Jadi kamu yang bikin Puspa jadi begini,” tuding Pak Soleh dengan nada mengancam.
Andre menatap Pak Soleh lurus-lurus, berusaha tetap tenang. “Pak, saya enggak pernah memaksa Puspa untuk melakukan apa pun. Apa yang terjadi antara saya dan Puspa adalah urusan kami berdua.” “Urusan kalian? Urusan kalian?” ulang Pak Soleh dengan geram. “Ini urusanku juga!”
“Kamu pikir pernikahan ini cuma soal cinta? Ini soal kesepakatan! Soal hutang-hutang keluargamu yang harus lunas!” Andre mengepalkan tangannya, menahan emosi. “Ya, saya tahu itu, Pak. Tapi apakah pernikahan ini harus terus jadi beban bagi kami? Puspa bukan boneka, Pak.”
“Dia punya hak untuk hidup seperti yang dia mau.” Pak Soleh tertegun sesaat, tetapi kemudian ia tertawa sinis. “Hidup seperti yang dia mau? Dia anakku, Andre! Aku yang nafkahi dia sejak kecil. Aku yang bikin dia jadi siapa dia sekarang. Jadi jangan sok tahu soal apa yang terbaik buat dia!”
Keributan itu menjadi tontonan bagi para tetangga yang semakin penasaran. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, menyuarakan pendapat mereka tentang pernikahan Andre dan Puspa. Ada yang mengatakan bahwa Andre hanya memanfaatkan kekayaan keluarga Puspa.
Ada juga yang menyindir bahwa pernikahan itu hanyalah transaksi dagang yang tidak berdasarkan cinta. Di tengah keriuhan itu, Bu Sari hanya bisa diam menundukkan kepala dengan rasa malu. Ia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari keputusannya menerima pinjaman dari Pak Soleh bertahun-tahun lalu.
Dan kini, konsekuensi dari keputusan itu mulai menelanjangi harga dirinya di depan orang-orang. Malam itu, suasana di apartemen mereka begitu muram. Andre duduk di sofa dengan ekspresi lelah, sementara Puspa duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar dengan mata kosong.
Keduanya belum banyak bicara sejak insiden di pasar tadi siang. “Aku enggak bisa terus kayak gini,” kata Puspa akhirnya, suaranya bergetar. “Aku gak bisa terus pura-pura demi menyenangkan Ayah.” Andre menoleh ke arahnya. “Lalu apa yang mau kamu lakukan?”
Puspa menarik napas panjang. “Aku harus jujur sama Ayah. Aku gak bisa terus hidup di balik kebohongan. Aku gak mau kita terus-terusan disalahkan karena hal yang enggak kita pilih.” Andre menghela napas. “Tapi kamu yakin? Ayahmu enggak akan mudah menerima ini.”
“Aku enggak peduli lagi,” jawab Puspa dengan nada tegas. “Aku capek hidup dalam tekanan. Aku gak mau terus jadi korban keinginan orang lain. Kalau Ayah gak bisa nerima aku apa adanya, itu urusan dia.” Andre tersenyum tipis, meski ada rasa khawatir di hatinya.
“Kalau itu keputusanmu, aku bakal dukung kamu. Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensinya.” Puspa mengangguk. Ada tekad kuat di matanya, sesuatu yang belum pernah Andre lihat sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Puspa—sisi yang pemberani dan tegar.
Keesokan harinya, Puspa memutuskan untuk menghadap ayahnya secara langsung. Andre menemani istrinya ke rumah mewah keluarga Puspa, meskipun ia tahu bahwa ini akan menjadi pertemuan yang sulit. Saat mereka tiba, Pak Soleh sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah dingin.
Tatapannya penuh amarah. “Kenapa kamu kemari?” tanya Pak Soleh kepada Puspa, nadanya keras. “Kamu gak boleh keluar rumah tanpa izin!” “Aku datang untuk jujur sama Ayah,” jawab Puspa dengan suara mantap. “Aku enggak lumpuh. Ya, aku pura-pura lumpuh selama bertahun-tahun.”
Pak Soleh terdiam sejenak, matanya melebar karena syok. “Apa katamu?” “Aku enggak lumpuh,” ulang Puspa. “Aku gak pernah lumpuh. Aku cuma berpura-pura supaya gak ada pria yang mau dekat-dekat aku. Aku enggak mau nikah sama siapapun yang cuma ngejar harta keluarga.”
Pak Soleh tampak seperti ingin meledak. “Kamu… kamu berani membohongi aku selama ini? Bahkan setelah kamu nikah sama Andre?” “Iya,” jawab Puspa tanpa ragu. “Aku gak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku gak mau jadi boneka Ayah lagi.”
Pak Soleh menatap putrinya dengan campuran kemarahan dan kekecewaan. “Lalu sekarang kamu mau apa? Hidup bahagia sama Andre? Kamu pikir dia benar-benar peduli sama kamu? Dia cuma ngejar hartaku!” “Tidak!” potong Andre dengan suara tegas.
“Saya gak pernah ngejar harta kamu. Saya cuma ingin Puspa bahagia. Dan kalau kamu gak bisa nerima itu, itu urusan kamu.” Pak Soleh terdiam. Tubuhnya gemetar karena kemarahan yang tak tertahan. Namun di balik amarah itu, ada rasa kehilangan yang mendalam.
Anak tunggalnya yang selama ini ia anggap sempurna, kini berdiri di hadapannya sebagai wanita yang penuh keberanian dan ketegasan. “Kalau begitu, pergi saja,” kata Pak Soleh akhirnya. Suaranya bergetar. “Pergi dari rumah ini. Aku gak mau lihat kamu lagi.”
Puspa menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Baiklah, Yah. Kalau itu keputusanmu, aku akan pergi.” Ia berbalik dan meninggalkan ruang tamu, diikuti oleh Andre.
Di luar rumah Puspa berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ada rasa lega, tetapi juga ada luka yang dalam. “Kita gak punya pilihan lain,” kata Andre pelan, memegang pundak Puspa. “Tapi kita bisa jalani ini bersama-sama.” Puspa mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya terasa berat. “Aku siap, Andre. Aku siap untuk hidup baru.”
Setelah pertemuan yang tegang dengan Pak Soleh, Andre dan Puspa memutuskan untuk meninggalkan rumah mewah keluarga Puspa tanpa menoleh ke belakang. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, tetapi di dalam hati mereka ada keyakinan bahwa ini adalah langkah yang harus diambil demi kebahagiaan mereka berdua.
Andre menggenggam tangan Puspa erat saat mereka melangkah keluar dari gerbang besar rumah itu. Matahari sore mulai turun menyinari jalan di depan mereka dengan cahaya lembut yang seolah memberikan semangat baru. Meski langkah mereka terasa berat, ada rasa lega yang tak terucapkan di antara mereka. Mereka akhirnya bebas dari bayang-bayang tekanan keluarga.
Meskipun kebebasan itu datang dengan harga yang mahal. “Kita mau ke mana sekarang?” tanya Puspa pelan, suaranya bergetar karena campuran emosi—ketakutan, harapan, dan ketidakpastian. Andre menatap matanya dengan penuh keyakinan. “Kita cari tempat baru. Tempat yang bisa kita sebut rumah, tanpa tekanan dari siapapun.”
Puspa mengangguk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tahu bahwa perjalanan mereka ke depan tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa Andre akan selalu ada di sisinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki seseorang yang benar-benar memperjuangkan dirinya, bukan hartanya.
Mereka memutuskan untuk pindah ke sebuah desa kecil di luar Jakarta, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota dan sorotan orang-orang. Desa itu bernama Cilangkap, sebuah tempat yang dikenal dengan udaranya yang segar dan penduduknya yang ramah. Andre mendengar tentang desa ini dari teman lamanya di pabrik garmen.
Teman itu berasal dari sana. Menurutnya, biaya hidup di desa itu jauh lebih murah dibandingkan di Jakarta dan lingkungannya masih asri. Setelah beberapa hari mencari informasi dan mengumpulkan tabungan, mereka akhirnya menemukan sebuah rumah kecil yang disewakan oleh seorang nenek tua.
Rumah itu tidak besar, hanya memiliki dua kamar tidur, ruang tamu kecil, dapur sederhana, dan halaman belakang yang cukup luas. Namun bagi Andre dan Puspa, rumah itu terasa seperti surga kecil. “Bagaimana? Kamu suka?” tanya Andre saat mereka masuk ke dalam rumah untuk pertama kalinya.
Puspa tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. “Ini… ini indah sekali,” katanya. “Aku enggak pernah tinggal di tempat yang sesederhana ini, tapi aku suka. Ini rasanya kayak rumah sungguhan.” Andre tertawa kecil. “Iya. Ini rumah kita sekarang. Kita mulai lagi dari awal.”
Hidup di desa kecil membawa banyak perubahan bagi mereka. Andre memutuskan untuk berhenti bekerja di pabrik garmen dan mencari pekerjaan lain yang lebih dekat dengan rumah. Ia akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai buruh bangunan di proyek pembangunan jalan desa.
Pekerjaan itu lebih melelahkan dibandingkan di pabrik, tetapi ia merasa lebih bahagia karena bisa pulang setiap sore dan menghabiskan waktu bersama Puspa. Sementara itu, Puspa mulai menjalani kehidupan yang jauh lebih sederhana daripada yang pernah ia alami sebelumnya.
Ia belajar untuk hidup tanpa asisten rumah tangga, tanpa kemewahan, dan tanpa tekanan dari keluarganya. Di pagi hari, ia bangun lebih awal untuk memasak sarapan, membersihkan rumah, dan merawat halaman belakang. Meski awalnya sulit, ia menikmati proses ini karena ia merasa lebih mandiri dan bermakna.
Salah satu hal yang paling membuat Puspa bahagia adalah ketika ia mulai membuka usaha kecil-kecilan. Ia menggunakan keahliannya dalam membuat kue tradisional yang pernah ia pelajari dari asisten rumah tangganya dulu. Setiap pagi, ia membuat kue-kue seperti bolu kukus, nastar, dan kue lapis.
Lalu menjualnya kepada tetangga-tetangga di sekitar desa. Awalnya, ia ragu apakah kue-kuenya akan laku. Tetapi ternyata banyak orang yang menyukainya. “Andre, kita bisa tambah modal nanti kalau penghasilanku dari jualan kue cukup,” kata Puspa suatu malam sambil menulis daftar rencana di buku catatan kecilnya.
Andre tersenyum bangga. “Kamu hebat banget, Puspa. Aku gak nyangka kamu bisa begitu cepat beradaptasi.” Puspa tertawa kecil. “Aku juga enggak nyangka. Tapi aku senang. Rasanya kayak aku akhirnya menemukan tujuan hidupku.”
Namun meski kehidupan mereka di desa terasa damai, tantangan tetap ada. Beberapa tetangga di desa awalnya curiga terhadap mereka, terutama karena Puspa tampak sangat berbeda dari wanita-wanita desa pada umumnya. Penampilannya yang anggun dan cara bicaranya yang halus membuat beberapa orang berpikir.
Mereka mengira Puspa adalah wanita kaya yang sedang berlibur atau mencari sensasi. Ada juga yang berbisik-bisik tentang Andre, mengatakan bahwa ia pasti sudah melakukan sesuatu yang salah sehingga harus meninggalkan Jakarta. Namun Andre dan Puspa tidak peduli dengan omongan orang lain.
Mereka fokus pada kehidupan mereka sendiri dan berusaha membuktikan bahwa mereka bisa hidup dengan baik meski tanpa harta yang berlimpah. Perlahan-lahan, mereka mulai diterima oleh warga desa, terutama setelah Puspa seringkali membantu tetangga-tetangganya dengan keterampilannya dalam memasak dan menjahit.
Suatu sore, saat Andre pulang dari pekerjaannya, ia menemukan Puspa sedang duduk di halaman belakang bersama beberapa ibu-ibu tetangga. Mereka tertawa dan bercanda sambil membuat kerajinan tangan dari daun pandan. Melihat pemandangan itu, Andre merasa hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Puspa saat ia melihat Andre menatapnya dengan ekspresi bahagia. “Gak apa-apa,” jawab Andre. “Aku cuma… aku cuma senang melihatmu bahagia.” Puspa tersenyum manis. “Aku juga senang, Andre. Aku gak pernah merasa sebahagia ini seumur hidupku.”
Di tengah kebahagiaan mereka, ada satu hal yang terus menghantui pikiran Andre—keluarga mereka masing-masing. Ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya lepas dari konflik dengan keluarga Puspa, terutama dengan Pak Soleh. Ia khawatir bahwa ayah Puspa akan mencoba mencari mereka.
Dan menghancurkan kebahagiaan yang telah mereka bangun. “Kita harus siap kalau ayahmu datang,” kata Andre suatu malam kepada Puspa. Puspa mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi aku gak akan mundur lagi, Andre. Aku sudah memilih jalanku. Kalau ayah gak bisa nerima itu, aku gak bisa apa-apa.”
Andre meraih tangan Puspa dan menggenggamnya erat. “Kita hadapi ini bersama-sama, Puspa. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu.” Puspa menatap mata Andre dengan penuh rasa percaya. “Terima kasih, Andre. Aku enggak tahu apa yang akan terjadi ke depan.”
“Tapi aku yakin kita bisa melewati semuanya.” Matahari pagi di Desa Cilangkap terbit dengan lembut, menyelimuti rumah kecil Andre dan Puspa dengan cahaya hangat yang membangkitkan semangat. Udara segar membawa aroma tanah basah dari sawah-sawah di sekitar desa.
Sementara suara burung berkicau mengiringi awal hari mereka. Hidup di desa ini jauh berbeda dari kehidupan mereka sebelumnya. Tidak ada kemacetan, tidak ada tekanan sosial yang menghantui, dan tidak ada beban masa lalu yang terus mengikuti.
Namun bagi Andre dan Puspa, perubahan ini adalah napas segar yang mereka butuhkan untuk memulai hidup baru. Setiap pagi, Andre bangun lebih awal untuk bekerja di proyek pembangunan jalan desa. Ia menggunakan pakaian sederhana yang seringkali kotor karena debu dan lumpur.
Tetapi ia tidak pernah mengeluh. Baginya, setiap tetes keringat yang ia keluarkan adalah langkah menuju kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, Puspa mulai menemukan ritme barunya. Ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Andre, membersihkan rumah.
Dan merawat halaman belakang yang kini dipenuhi tanaman sayuran dan bunga. Di dapur kecil, ia juga sibuk membuat kue-kue tradisional yang menjadi andalannya untuk dijual kepada tetangga-tetangga. Usaha kecil-kecilan Puspa mulai menunjukkan hasil yang memuaskan.
Kue-kuenya laris manis. Bahkan beberapa ibu-ibu di desa mulai memesan kue dalam jumlah besar untuk acara-acara keluarga. Puspa juga mulai mendapatkan pesanan menjahit dari tetangga-tetangganya, terutama untuk memperbaiki pakaian atau membuat kerajinan tangan.
Meskipun penghasilannya tidak seberapa dibandingkan harta keluarganya dulu, ia merasa lebih puas karena bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. “Kamu hebat banget, Puspa,” kata Andre suatu sore saat ia pulang dari pekerjaan.
“Aku gak nyangka usaha kue kamu bisa berhasil secepat ini.” Puspa tersenyum malu-malu. “Aku cuma coba-coba, Andre. Tapi ternyata banyak orang yang suka. Aku senang bisa bantu nambah penghasilan kita.” Andre meletakkan tangannya di pundak Puspa.
“Kamu gak cuma bantu nambah penghasilan, tapi kamu juga bikin aku bangga.” “Kamu udah berubah jadi wanita yang kuat.” Puspa menundukkan kepala, pipinya sedikit memerah. “Aku cuma… aku cuman enggak mau jadi beban buat kamu lagi. Aku mau kita bisa hidup mandiri.”
Di tengah kesibukan mereka, Andre dan Puspa juga mulai membangun hubungan yang lebih dekat dengan warga desa. Awalnya, mereka sempat merasa asing di lingkungan baru ini. Namun dengan sikap ramah dan ketulusan mereka, warga desa mulai menerima mereka sebagai bagian dari komunitas.
Beberapa ibu-ibu sering mengajak Puspa untuk bergabung dalam kegiatan arisan atau gotong-royong membersihkan desa. Bahkan anak-anak kecil di desa sering datang ke halaman rumah mereka hanya untuk melihat Puspa membuat kue atau menjahit.
Suatu sore, saat Andre sedang istirahat di halaman belakang setelah seharian bekerja, seorang tetua desa bernama Pak Sugeng mendatangi mereka. Pak Sugeng adalah salah satu tokoh yang dihormati di desa, seringkali memberikan nasihat kepada warga tentang cara hidup yang harmonis.
“Pak Andre, Bu Puspa,” sapa Pak Sugeng dengan senyum hangat. “Boleh saya masuk?” “Tentu, Pak,” jawab Andre sambil bangkit dari kursi bambunya. “Silakan duduk.” Pak Sugeng duduk di kursi kayu yang disediakan oleh Puspa lalu menatap mereka berdua dengan tatapan bijaksana.
“Saya cuma mau bilang terima kasih atas apa yang kalian berdua sudah lakukan untuk desa ini. Bu Puspa, kue-kue kamu sangat membantu banyak keluarga di sini. Dan Pak Andre, kerja keras kamu di proyek pembangunan jalan sangat diapresiasi.” Andre dan Puspa saling bertukar pandang, lalu tersenyum.
“Terima kasih, Pak,” kata Puspa pelan. “Kami cuma ingin membantu semampu kami.” Pak Sugeng mengangguk. “Itu yang saya suka dari kalian. Kalian datang ke desa ini dengan hati yang bersih tanpa pamrih. Banyak orang di sini yang akhirnya belajar dari kalian.”
Setelah percakapan itu, Andre dan Puspa merasa semakin diterima oleh warga desa. Mereka mulai diundang ke acara-acara keluarga seperti pernikahan, khitanan, atau syukuran panen. Andre sering diminta untuk membantu urusan teknis, sementara Puspa membantu memasak atau mendekorasi tempat acara.
Mereka merasa bahwa mereka telah menemukan tempat yang benar-benar bisa mereka sebut rumah. Namun meski kehidupan mereka di desa terasa damai, ada satu hal yang terus menghantui pikiran mereka: keluarga Puspa.
Walaupun mereka belum mendengar kabar apa pun dari Pak Soleh atau keluarga Puspa selama beberapa bulan, mereka tahu bahwa konflik ini belum sepenuhnya selesai. Andre seringkali memikirkan kemungkinan bahwa ayah Puspa akan mencari mereka dan mencoba memisahkan mereka kembali.
“Aku takut ayahmu akan datang,” kata Andre suatu malam kepada Puspa saat mereka duduk di halaman belakang menikmati angin malam yang sejuk. Puspa menatap langit yang dipenuhi bintang. “Aku juga takut, Andre. Tapi aku enggak akan mundur lagi. Aku sudah memilih hidup ini dan aku siap menghadapi apa pun.”
Andre meraih tangan Puspa dan menggenggamnya erat. “Kita hadapi ini bersama-sama, Puspa. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu.” Puspa tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu, Andre. Aku percaya padamu.”
Beberapa minggu kemudian, ketakutan mereka mulai terwujud. Suatu pagi saat Andre sedang bekerja di proyek pembangunan, seorang kurir tiba-tiba datang ke rumah mereka membawa surat dari keluarga Puspa.
Puspa membuka surat itu dengan tangan gemetar. Isinya adalah undangan dari Pak Soleh untuk bertemu di Jakarta. Dalam surat itu, Pak Soleh menulis bahwa ia ingin berbicara baik-baik dengan Puspa dan Andre.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Puspa kepada Andre saat ia menunjukkan surat itu setelah Andre pulang kerja. Andre membaca surat itu dengan ekspresi serius. “Kita harus ke sana,” katanya akhirnya. “Kita gak bisa terus lari dari konflik ini. Kalau kita enggak datang, dia mungkin akan datang ke sini.”
Puspa mengangguk meskipun ada rasa takut di matanya. “Baiklah, tapi kita hadapi ini bersama-sama ya.” Andre tersenyum dan memeluk Puspa erat. “Tentu saja. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama.”
Matahari pagi di Jakarta terasa lebih panas daripada biasanya ketika Andre dan Puspa tiba di rumah mewah keluarga Puspa. Gedung tinggi itu masih sama seperti dulu: megah, dingin, dan penuh dengan kenangan yang menyakitkan bagi mereka berdua.
Namun kali ini mereka datang bukan sebagai orang-orang yang dipaksa oleh keadaan, melainkan sebagai pasangan yang siap menghadapi apa pun bersama-sama. Pak Soleh sudah menunggu mereka di ruang tamu megah yang dulu menjadi saksi bisu banyak konflik.
Ia duduk di kursi besar dengan wajah dingin. Namun ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda, seolah-olah ia sedang berusaha menahan emosi yang mendalam. Bu Nisa, ibu Puspa, duduk di sampingnya dengan ekspresi cemas.
Sementara beberapa asisten rumah tangga berdiri di sudut ruangan memperhatikan situasi dengan hati-hati. “Kalian akhirnya datang,” kata Pak Soleh dengan nada datar, meski matanya memancarkan kemarahan yang terselubung.
Puspa maju selangkah ke depan, berdiri tegak di hadapan ayahnya. Suaranya mantap, tidak lagi seperti gadis yang pernah takut menghadapi dunia luar. “Ya, Ayah. Kami datang untuk bicara baik-baik.”
Pak Soleh menatap putrinya dengan intens, seolah mencoba membaca pikirannya. “Jadi ini pilihanmu? Tinggal di desa kecil bersama dia? Menjalani hidup yang jauh dari standar keluargamu?”
Puspa tidak ragu untuk menjawab. “Iya, Ayah. Ini pilihanku. Aku gak bisa terus hidup di balik kebohongan dan tekanan. Aku ingin hidup bahagia, dan aku menemukan kebahagiaan itu bersama Andre.”
Pak Soleh tertegun sejenak, lalu beralih menatap Andre. “Dan kamu, apa kamu benar-benar mencintai anakku? Atau hanya ngejar hartaku?” Andre menatap mata Pak Soleh lurus-lurus tanpa rasa gentar.
“Saya gak pernah ngejar harta Anda, Pak. Saya cuma ingin Puspa bahagia. Dan kalau saya harus kerja keras setiap hari demi itu, saya siap.” Ada keheningan yang menyelimuti ruangan setelah jawaban Andre.
Pak Soleh tampak terdiam, matanya melebar karena keterkejutan. Ia tidak pernah menduga bahwa pemuda yang awalnya ia anggap hanya pria biasa ini memiliki tekad sekuat itu. Dalam hati, ia mulai meragukan penilaiannya sendiri tentang Andre.
Bu Nisa akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tetapi penuh haru. “Pak, kita harus lihat ini dari sudut pandang Puspa. Dia udah dewasa, dan dia punya hak untuk memilih hidupnya sendiri.”
Pak Soleh menoleh ke arah istrinya. Wajahnya masih dipenuhi amarah yang belum sepenuhnya reda. “Tapi… tapi kita udah kasih segalanya buat dia. Harta, pendiAndren, fasilitas. Dia gak bisa ninggalin semuanya begitu aja.”
Puspa melangkah mendekat. Air mata mulai menggenang di matanya. “Ayah, aku enggak ninggalin semuanya. Aku cuma minta satu hal: kebebasan. Kebebasan untuk jadi diriku sendiri.”
“Aku enggak mau hidup dalam bayang-bayang Ayah lagi. Aku enggak mau pura-pura lumpuh hanya supaya orang lain enggak dekat-dekat aku. Aku capek, Yah.”
Pak Soleh menundukkan kepala, napasnya berat. Ada rasa kehilangan yang mendalam di hatinya. Anak tunggalnya yang selama ini ia anggap sempurna dan patuh, kini berdiri di hadapannya sebagai wanita yang mandiri dan berani.
Ia sadar bahwa ia telah membuat kesalahan besar dengan terlalu protektif terhadap Puspa. “Aku… aku salah,” kata Pak Soleh akhirnya, suaranya bergetar. “Aku terlalu egois. Aku gak pernah pikirin apa yang kamu inginkan, Puspa. Aku cuma mikirin nama baik keluarga.”
Puspa langsung mendekat dan memeluk ayahnya erat. “Aku enggak marah sama Ayah. Aku cuma ingin kita bisa saling mengerti.” Pak Soleh membalas pelukan putrinya. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Maafkan Ayah, Nak. Ayah cuma… Ayah cuman enggak mau kehilangan kamu.”
Setelah momen rekonsiliasi yang penuh emosi, suasana di ruang tamu mulai mencair. Pak Soleh mengundang Andre dan Puspa untuk makan siang bersama di meja makan yang luas. Mereka berbicara tentang masa depan.
Pak Soleh menawarkan untuk memberikan modal usaha kepada Andre dan Puspa sebagai bentuk permintaan maafnya. “Ini bukan soal hutang piutang lagi,” kata Pak Soleh dengan nada tulus. “Ini soal keluarga. Kalian adalah bagian dari keluarga ini, dan aku gak mau kehilangan kalian.”
Andre dan Puspa saling bertukar pandang, lalu mengangguk. “Terima kasih, Pak,” kata Andre. “Kami akan gunakan modal ini untuk membangun kehidupan yang lebih baik.”
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Andre dan Puspa kembali ke Desa Cilangkap dengan semangat baru. Mereka menggunakan modal yang diberikan oleh Pak Soleh untuk memperluas usaha mereka.
Puspa membuka toko kecil di depan rumah, menjual kue-kue tradisional dan kerajinan tangan. Andre, di sisi lain, membeli alat-alat bangunan untuk memulai usaha kecilnya sebagai tukang renovasi rumah.
Hidup mereka semakin berkembang, dan mereka semakin diterima oleh warga desa. Puspa seringkali mengadakan kegiatan sosial seperti pelatihan memasak dan menjahit untuk ibu-ibu di desa.
Andre dengan keahliannya dalam bidang bangunan seringkali membantu warga memperbaiki rumah mereka tanpa meminta imbalan yang besar. Suatu sore, saat mereka duduk di halaman belakang sambil menikmati teh hangat, Andre memandang Puspa dengan senyum penuh rasa syukur.
“Kita udah jauh banget dari titik awal kita ya.” Puspa tersenyum, matanya berbinar-binar. “Iya, dan aku enggak pernah nyangka kalau kita bisa sampai di sini. Semua ini karena kita enggak pernah menyerah.”
Andre menggenggam tangan Puspa erat. “Aku bangga sama kamu, Puspa. Kamu udah jadi wanita yang kuat dan mandiri.” Puspa menundukkan kepala, pipinya sedikit memerah. “Aku juga bangga sama kamu, Andre. Kamu selalu ada di sisiku, meski kita harus melewati banyak ujian.”
Di tengah kebahagiaan mereka, ada satu hal yang membuat mereka semakin bersyukur: keluarga mereka akhirnya bisa bersatu kembali. Pak Soleh dan Bu Nisa seringkali mengunjungi mereka di desa, membawa oleh-oleh dan cerita-cerita lucu tentang kehidupan di Jakarta.
Mereka juga mulai belajar untuk lebih menghargai kehidupan sederhana yang dipilih oleh Puspa dan Andre. “Kita akhirnya menemukan kebahagiaan sejati ya,” kata Puspa suatu malam sambil menatap langit penuh bintang.
“Iya,” jawab Andre dengan senyum lebar. “Dan semua ini karena kita saling percaya dan berjuang bersama.”
Nah itu tadi cerpen pria tampan dipaksa menikahi wanita lumpuh kaya oleh ibunya. Semoga terhibur! (alkisahnews.com)